Mohon tunggu...
Zefirinus Lewoema
Zefirinus Lewoema Mohon Tunggu... The writer is a PhD candidate at the Knowledge, Technology and Innovation Chair Group, Wageningen University and Research, The Netherlands. A former recipient of the International Fellowship Program and now an LPDP-RI Scholarship awardee, he writes passionately about indigenous knowledge, post-colonial perspectives, traditional farming, and the future of rural communities.

Penggemar buku, tulisan dan musik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Merantau dan Sapu Tangan Ibu

10 September 2025   06:43 Diperbarui: 10 September 2025   10:17 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di kampung kami, arah ke luar selalu ditunjuk oleh jalan berdebu yang menurun pelan ke terminal kecil, tempat bus antar kota menjemput penumpang ke Pelabuhan Larantuka. Dari sanalah kapal-kapal berangkat, mengguratkan jejak putih di permukaan laut, membawa anak-anak muda menuju Sabah, Malaysia, tanah yang tak pernah melahirkan kami, tetapi entah bagaimana menanam magnet di dada sejak lama. Orang-orang tua bilang, "Sabah itu cahaya yang menggigil di tengah air: jauh, namun mata tak bisa berpaling." Kami percaya. Kami melihatnya tiap musim panen ketika koper kain muncul dari kolong tempat tidur, ketika bapak menghaluskan sandalnya, dan ketika ibu memilih satu sapu tangan baru, bersih, lembut, berbau matahari, untuk diselipkan ke saku anaknya.

Sapu tangan itu kecil, tapi di kampung kami ia menyimpan dunia: doa ibu, nasihat yang tak sempat dirapalkan, dan harapan agar rezeki tak tersedak di tanah orang. Pagi keberangkatanku, ibu menyeka peluh di dahiku dengan sapu tangan putih bergaris biru, lalu menekannya ke telapak tanganku. "Kalau rindu sama rumah," bisiknya, "pakai ini. Itu doa ibu." Bapak berdiri sedikit ke belakang, menyilangkan tangan di dada, pura-pura menatap gunung supaya tak ketahuan matanya bening.

Di pelabuhan, kapal menderu. Aku menoleh: ibu mengangkat tangannya, melambai dengan sapu tangan serupa. Kapal bergerak, menelan jarak dan membelah batas. Mulai hari itu, laut menjadi garis tipis antara aku dan seluruh yang kupanggil rumah.

Sabah menyambut dengan lembab yang berat: campuran getah sawit, tanah liat, dan keringat yang seolah tak pernah kering. Di barak, papan-papan dinding berbunyi tiap kali angin melewati celah. Kami tidur bertingkat, tubuh diatur seperti barang di gudang. Di pagi buta, pikap terbuka membawa kami ke blok-blok, huruf-huruf dan angka-angka yang menjadi peta hari-hari: Blok C-7, D-11, F-3. Kami memikul buah sawit yang beratnya seperti kesedihan yang ditahan, memotong pelepah, menepi bila mandor lewat. Di sini, bahasa datang dari mana-mana: Lamaholot beradu dengan Melayu Sabah, Tagalog bersenggolan dengan Bugis. Namun di sela semua itu, kata "pulang" selalu terdengar paling jelas.

Dokumen adalah nadi yang rapuh. Sebagian datang dengan paspor dan kontrak yang sah, sebagian menyelinap lewat jalur yang diajarkan mulut ke mulut, nama yang ditukar, umur yang "disisir," visa lawatan yang dipanjangkan nasib. Kami hafal jalur razia seperti hafal letak mata air di kampung. Bila kabar datang, imigresen, barak tiba-tiba sunyi, lampu dipadamkan awal, napas disimpan. Pada malam-malam begitu, aku meraba saku: sapu tangan ibu. Kainnya menua, tapi rasa teduhnya tak pernah berkurang. "Jika kau takut," tulis ibu dalam satu surat, "ingatlah bahwa doa berjalan lebih cepat dari langkahmu."

Upah datang dalam paket yang sama: ringgit, nyeri punggung, dan sebuah rasa lega yang menipis cepat. Dari ringgit pertama, aku mengirim pulang: untuk atap seng yang bocor, untuk obat batuk bapak, untuk sepatu adik. Sisa sedikit kubeli sabun, sandal, dan sesekali ayam goreng di warung Filipina dekat pasar malam di Kota Kinabalu, hadiah kecil bagi tubuh yang penuh duri pelepah. "Jangan lupa makan yang hangat," pesan ibu di tiap akhir surat, seakan hangat bisa disimpan di saku seperti sapu tangan.

Rindu menemukan bentuknya sendiri di tanah ini. Ia menjadi garis merah di pundak, menjadi aroma minyak kelapa yang kuracik sendiri sebab bau kampung tersembunyi di sana. Ia menjadi kebiasaan baru: berdiri di tepi blok ketika matahari turun, memandang garis bukit yang selalu sama, lalu membayangkan garis-garis bukit lain yang lebih akrab: yang di kampung, tempat angin membawa suara kambing dan genta kapela. Kadang, rindu menjelma lagu yang kami nyanyikan pelan, suara patah-patah dalam banyak dialek, tetapi refreinnya satu: bertahanlah.

Di barak, kami menamai diri "keluarga rantau Sabah." Kami berbagi rokok linting, gelas plastik berisi kopi kental, juga cerita yang tak pernah selesai: tentang kawan yang pulang dalam kotak kayu, tentang pasangan yang gagal menikah karena dokumen tak memungkinkan, tentang pekerja yang tiba-tiba hilang bersama malam ketika razia terlalu rajin. Namun di sela getir, selalu ada tawa: tentang mandor berpantun, tentang anak kucing yang mengira pelepah sebagai mainan, tentang mimpi-mimpi yang berani tumbuh di tanah asing.

Suatu malam, seseorang, Udin dari Bima, mengusulkan hal yang dulu hanya bahan bercanda: "Kita charter kapal pas musim panen kampung. Pulang ramai-ramai, biar orang kampung tahu kita belum lupa." Ide itu tumbuh seperti rumput setelah hujan. Setiap akhir bulan, amplop plastik berkeliling. Kami menulis nama, jumlah sumbangan, dan doa dalam kertas kecil. Tak ada yang memaksa. Memberi adalah cara paling murah untuk merasa berguna.

Tahun bergeser. Sapu tangan ibu semakin pudar; garis birunya seperti pantai yang digerus pasang. Di sudutnya ada sobekan kecil, bekas tersangkut duri sawit. Aku tak menambalnya. Biarlah robek itu jadi tanda: hidup ini pernah menyakitkan, namun tidak berhasil memutus.

Hari pulang datang dengan matahari yang bulat dan tinggi. Kapal sewaan menunggu di dermaga: lambungnya bersih, kursinya empuk, pendingin udaranya seperti kabut tipis. Di bagasi, kardus-kardus diikat rapat: panci teflon, payung lipat, kain dari pasar Gaya, radio kecil, sandal-sandal plastik untuk anak-anak. Kami tertawa melihat tumpukan itu, betapa manusia suka membawa pulang bukti, seolah tanpa benda-benda itu kisah tak diakui.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun