Mohon tunggu...
Zayed Ahmad
Zayed Ahmad Mohon Tunggu... Penulis

Membaca menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Fenomena childfree dalam perspektif fiqih klasik dan fiqih kontemporer

23 September 2025   19:58 Diperbarui: 23 September 2025   19:57 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Fenomena childfree yaitu keputusan sadar dan sukarela untuk tidak memiliki anak, baik secara permanen maupun sementara menjadi topik yang semakin sering diperbincangkan di era modern. Dalam masyarakat yang semakin individualistis dan penuh tantangan ekonomi, pilihan hidup ini kerap dianggap sebagai bentuk kebebasan personal. Namun, dalam konteks Islam, pilihan tersebut perlu ditinjau dari dua sudut pandang utama dalam kajian hukum Islam, yaitu fiqh klasik dan fiqh kontemporer.

Dalam fiqh klasik, memiliki keturunan dianggap sebagai tujuan penting dalam pernikahan. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan utama syariat Islam (maqashid al-syari'ah), yakni hifzh al-nasl (menjaga keturunan). Para ulama klasik sepakat bahwa anak merupakan nikmat sekaligus amanah dari Allah, dan melestarikan keturunan dianggap sebagai bagian dari perwujudan taggung jawab moral dan sosial umat Islam.

Dalam Al-Qur'an Allah swt berfirman yang artinya:

"Dan Allah menjadikan bagimu istri-istri dari jenismu sendiri dan menjadikan dari istri-istrimu itu anak-anak dan cucu-cucu..." 

(QS. An-Nahl: 72)

Hal ini menunjukkan bahwa memiliki anak merupakan salah satu bagian dari kesempurnaan pernikahan dalam Islam.

Dalam konteks ini, para ulama klasik seperti Imam Al-Ghazali dan Imam Nawawi memperbolehkan penggunaan alat kontrasepsi (seperti azl, yaitu senggama terputus) selama tidak dilakukan secara permanen dan mendapat persetujuan dari pasangan. Namun, niat utamanya adalah untuk mengatur jarak kelahiran, bukan untuk menolak keturunan sepenuhnya. Oleh karena itu, keputusan untuk childfree permanen kemungkinan besar tidak dibenarkan dalam perspektif fiqh klasik karena bertentangan dengan tujuan syariat.

Fiqh kontemporer, yang dikembangkan oleh para ulama modern seperti Yusuf al-Qaradawi, Jasser Auda, dan lainnya, menggunakan pendekatan kontekstual dalam memahami realitas sosial masa kini. Dalam hal ini, para ulama kontemporer mencoba menimbang kem fenomena childfree dengan mempertimbangkan alasan-alasan rasional dan etis.

Dalam pendekatan maqashid syariah yang lebih fleksibel, keputusan childfree bisa saja dimaklumi apabila ada alasan yang sah dan bersifat darurat atau mendesak, misalnya:
-Risiko kesehatan serius bagi ibu apabila hamil,
-Ketidaksiapan psikologis atau ekonomi,
-Lingkungan sosial yang tidak mendukung pertumbuhan anak secara sehat.

Beberapa ulama kontemporer tidak secara otomatis mengharamkan keputusan childfree, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam dan tidak dilakukan atas dasar permusuhan terhadap keturunan atau ajaran agama. Dalam hal ini, niat dan konteks menjadi faktor penting.

Namun demikian, pilihan untuk tidak memiliki anak tetap dianggap sebagai sesuatu yang tidak ideal, karena bisa mengurangi fungsi sosial pernikahan dalam Islam. Alasan seperti ingin fokus karier, tidak ingin repot, atau kekhawatiran terhadap kondisi Dunia (seperti krisis iklim atau ekonomi) masih diperdebatkan apakah cukup kuat untuk membenarkan keputusan childfree permanen.
Lembaga fatwa seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Dar al-Ifta Mesir cenderung memperbolehkan pengaturan kelahiran, tetapi tidak mendukung sterilisasi atau keputusan permanen untuk tidak memiliki anak, kecuali dalam keadaan darurat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun