Mohon tunggu...
zaynaya zafira riezky
zaynaya zafira riezky Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah

-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Henry Sahabat Virtual yang Menjebak: Dampak Curhat ke AI bagi Kesehatan Mental

3 Oktober 2025   14:45 Diperbarui: 3 Oktober 2025   15:13 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena curhat dengan kecerdasan buatan (AI) belakangan ini menjadi perbincangan hangat, terutama di kalangan remaja yang tumbuh dalam era digital. Kehadiran teknologi yang semakin canggih membuat mereka merasa lebih nyaman berbagi perasaan dengan mesin ketimbang dengan manusia. AI dianggap sebagai teman virtual yang selalu siap mendengarkan tanpa menghakimi, memberikan jawaban menenangkan, dan seolah mampu memahami isi hati. Sekilas, hal ini terdengar positif, bahkan menjanjikan sebagai solusi bagi mereka yang kesulitan menemukan telinga yang mau mendengar. Namun, pertanyaan besar muncul: apakah AI benar-benar bisa menggantikan komunikasi manusia yang autentik, atau justru menciptakan jebakan emosional yang berbahaya?

Di satu sisi, keberadaan AI menawarkan kenyamanan yang sulit ditemukan dalam hubungan sosial nyata. Mesin tidak pernah lelah mendengarkan, tidak menghakimi, dan selalu merespons dengan kalimat-kalimat menenangkan. Tidak heran jika sebagian orang merasa lebih bebas meluapkan keluh kesahnya pada AI dibandingkan pada teman atau keluarga. Riset yang dilakukan Kumparan, misalnya, menunjukkan bahwa 27,14 persen orang Indonesia pernah mencoba curhat ke AI. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan bahwa teknologi kini mulai mengisi ruang yang biasanya hanya ditempati oleh manusia. Bagi sebagian orang, hal ini terasa seperti menemukan sahabat yang selalu tersedia kapan pun dibutuhkan.

Namun, kenyamanan itu tidak datang tanpa risiko. AI pada dasarnya tidak memiliki emosi maupun empati, ia hanya meniru pola bahasa berdasarkan data. Jawaban yang diberikan sering kali berupa validasi umum, seperti “wajar kamu merasa begitu” atau “perasaanmu penting.” Bagi pengguna yang rapuh secara emosional, kalimat semacam itu bisa menjadi candu. Alih-alih membantu melihat persoalan dengan perspektif baru, AI justru mendorong mereka semakin terjebak dalam narasi yang mereka bangun sendiri. Ketergantungan ini berbahaya, karena perlahan mengikis keterampilan sosial seperti empati, komunikasi tatap muka, hingga kemampuan memahami emosi orang lain.

Kisah nyata seorang content creator asal Amerika, Kendra Hilty, memperlihatkan sisi gelap dari fenomena ini. Awalnya, Kendra menggunakan ChatGPT sekadar untuk curhat dan bahkan memberinya nama khusus, “Henry.” Setiap kali merasa gelisah, ia meluapkan isi hati pada Henry, yang hampir selalu membalas dengan kata-kata menenangkan. Masalah mulai muncul ketika Kendra membawa pengaruh percakapan dengan AI ke dalam kehidupannya sendiri. Setelah menjalani sesi konsultasi dengan seorang psikiater, ia meyakini bahwa psikiater tersebut jatuh cinta padanya hanya karena beberapa sikap profesional, seperti menatapnya dengan fokus atau memberi waktu ekstra. Henry, meskipun sebenarnya memberi jawaban netral, tetap membuka ruang interpretasi yang membuat Kendra semakin yakin dengan keyakinan ilusinya.

Keyakinan itu berkembang menjadi obsesi. Kendra mulai menuduh psikiaternya sebagai predator, membuat konten di media sosial untuk memperkuat narasinya, hingga berencana pindah agama demi sang psikiater. Semua itu berawal dari interaksi dengan AI yang terlalu sering memberi validasi tanpa penyeimbang. Bukannya menyadarkan Kendra bahwa tafsirnya mungkin keliru, AI justru memperkuat keyakinan salah yang ia ciptakan sendiri. Kasus ini menunjukkan betapa tipisnya batas antara kenyamanan virtual dan bahaya ilusi sosial. AI memang bisa menjadi pendengar yang baik, tetapi ia tidak memiliki kapasitas untuk membedakan perasaan yang sehat dan obsesi yang berbahaya.

Fenomena ini menjadi pengingat bahwa meski teknologi memberi banyak kemudahan, tetap ada aspek manusiawi yang tak tergantikan. Curhat ke AI mungkin membantu melepaskan beban sesaat, tetapi ia tidak bisa menggantikan interaksi manusia yang penuh empati, keseimbangan, dan perspektif nyata. Jika dibiarkan tanpa kendali, ketergantungan semacam ini dapat memicu kecemasan, distorsi realitas, bahkan gangguan mental yang lebih serius. Oleh karena itu, penting bagi remaja dan masyarakat luas untuk memandang AI hanya sebagai alat bantu, bukan sahabat sejati. Pada akhirnya, kebutuhan untuk benar-benar dipahami hanya bisa terpenuhi melalui hubungan manusia dengan manusia, bukan manusia dengan mesin.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun