"Ris tak bisa hidup tanpa akang," bisik Risma. Tatapan sendunya meminta kepastian dari Gara.
"Mengapa?" Gara setengah tak peduli.
"Ris mencintai akang. Kita bisa segera menikah. Akang tidak usah memikirkan biaya pernikahan,"
"Kenyataan itu semakin menyakiti akang, Ris. Kamu semakin menyandera akang dengan kepahitan," jawab Gara untuk sesaat kemudian duduk di samping Risma. Pandangannya menyapu hamparan sawah yang mulai menghijau.
"Akang jangan terbawa perasaan. Ris tidak bermaksud seperti itu. Ris hanya ingin kita bersatu membina mahligai rumah tangga. Apa itu sesuatu yang salah?"
"Tidak. Sama sekali tidak salah. Tapi bukankah di Citrawangi ini masih banyak lelaki lain selain akang. Mereka lebih layak mendampingi Risma untuk membangun mahligai rumah tangga seperti yang Risma inginkan," elak Gara menyembunyikan rasa pedihnya yang perlahan  menggeliat.
"Mereka? Siapa yang akang maksudkan mereka?"
"Para lelaki lain ..." Suara Gara parau.
Terhenyak, Sisi memandangi Gara. Ia menangkap banyak kalimat-kalimat aneh yang diucapkan Gara, "Ya, di mata akang, Ris memang hanya layak untuk mereka, tidak untuk akang. Akang terlalu naif memandang Ris dan keluarga Ris. Akang selalu mempertahankan egoisme akang untuk bisa menikah hanya dengan gadis yatim dan keluarga tidak mampu. Kadang-kadang Ris tidak memahami jalan pemikiran akang," Risma mulai menaikkan nada suaranya, "Apa, sih, yang akang inginkan dari pemikiran-pemikiran seperti itu?"
"Ris, akang hanya ingin sempurna menjadi seorang suami," jawab Gara sekenanya, menyembunyikan alasan sebenarnya.
"Apakah orangtua Risma harus meninggal dunia dulu dan keluarga Risma pun jatuh miskin untuk menghantarkan akang menjadi suami yang sempurna?"