Alangkah kagetnya Gara ketika mengetahui rumah itu tidak lagi berdiri di tempatnya dahulu. Yang ada hanyalah semak yang melingkari pohon gandaria.
Gara mengucek-ngucek matanya. Sama saja, yang ada di hadapannya memang bukan rumah Risma, tapi hanya belukar. Jadi, penglihatan Gara memang benar.
Beberapa remaja melewati Gara yang tengah berdiri mematung, "Hmmh, De. Boleh bertanya?" Gara terlihat ragu.
Para remaja itu berhenti, "Ya. Mau tanya apa, Kang?" tanya salah seorang di antaranya.
"Dulu, ini rumah Teh Risma, kan?" tanya Gara. Mendengar itu para remaja terkejut dengan mimik yang tiba-tiba berubah ketakutan, "Teh Rismanya ke mana?" Gara melanjutkan pertanyaannya.
Bukannya jawaban yang diterima Gara, para remaja itu malah bergegas pergi dengan mempercepat langkah.
Gara sama sekali tidak memahami tindakan para remaja itu. Dengan dipenuhi rasa penasaran, Gara balik kembali ke pos kamling karena didengarnya suara adzan Ashar dari masjid di dekat pos kamling. Ia ingin ikut menunaikan shalat Ashar di masjid yang belum juga berubah setelah sepuluh tahun lalu ditinggalkan.
Ketika jama'ah yang hanya membentuk setengah shaff sudah berkumpul, shalat Ashar pun dimulai. Gara heran, kemana para jama'ah? Padahal dulu, shalat Ashar seperti ini pun dipenuhi tidak kurang dari tiga shaff.
Usai menunaikan shalat, para jama'ah langsung pergi meninggalkan masjid setelah menyalami imam. Sedangkan Gara, ia tetap duduk tafakur penuh kekhusyukan. Dengan mata terpejam, mulut Gara komat-kamit membaca do'a dan salawat.
"Assalamu'alaikum ..." sapa seorang muda yang tadi mengimami shalat Ashar saat hendak ke luar masjid. Sepertinya, sang Imam tertarik dengan kehadiran jamaah tamu di dalam masjidnya. Â
Perlahan Gara membuka mata, "Wa'alaikumsalaam!" balas Gara.
Sang Imam pun diam sejenak. Ia memandangi Gara secara seksama, "Kang Gara?" tanyanya kemudian.