"Bukan ... bukan seperti itu maksud akang ...!"
"Sudahlah! Akang memang egois!" Dalam ketidakmengertiannya, Risma berlalu meninggalkan Gara.
Angin sawah yang tiba-tiba berhembus menyadarkan Gara dari lamunan. Ia melangkah perlahan meneruskan perjalanan.
Tak lama setelahnya, Gara sampai di ujung kampung. Melangkah perlahan, melewati beberapa jalanan yang dahulu sering ia lalui bersama Risma.
Namun yang membuat Gara heran, kondisi kampung tetaplah seperti sepuluh tahun lalu. Tak ada tanda-tanda bahwa kampung ini adalah kampung santri seperti yang dibayangkan Gara saat melewati gapura tadi. Yang membedakan hanyalah bertambahnya beberapa rumah sebagai pertanda bahwa kampung ini memang kampung yang hidup. Lantas, apa maksud ucapan selamat datang di pintu gerbang tadi? Siapa yang telah membuatnya?
Menghilangkan lelah, Gara duduk di pos kamling. Beberapa orang yang lalu lalang tidak mempedulikan kehadiran Gara. Dan, Gara pun tidak mengenali mereka. Kebanyakan di antara mereka memang para pemuda yang sewaktu ditinggalkan Gara mungkin baru lahir atau pun masih kecil.
Ingin rasanya sejenak Gara melihat kembali rumah Risma. Namun bayang-bayang masa lalu membuatnya tidak memiliki keberanian, bahkan hanya untuk menurunkan kakinya dari atas balai bambu pos kamling.
Dulu, Gara sangat mencintai Risma. Bahkan ... sepertinya sampai hari ini. Cinta terbesar yang disimpan Gara untuk Risma adalah keinginan melihat Risma hidup bahagia. Bukankah kepergian Gara dari kampungnya dahulu demi memberi kesempatan bagi Risma untuk hidup berbahagia. Bagaimana pun, Risma adalah cinta pertama Gara.
Bila di saung sawah dulu Gara memberikan alasan tidak layak bagi Risma, karena memang Gara merasakan ketidaklayakan itu.
Bukan, bukan semata-mata karena Gara ingin menikah dengan anak yatim dari keluarga miskin seperti yang disangkakan Risma yang membuat Gara menolak keinginan Risma untuk menikah dengannya. Demi kebaikan dan kebahagiaan Risma, Gara harus meninggalkan Risma. Hanya alasan yatim dan miskin itulah yang tidak mungkin bisa dipenuhi Risma. Sebab pada kenyataannya, Risma memang anak orang kaya yang diasuh penuh kasih sayang oleh kedua orangtuanya.
Setelah lama berfikir dan berusaha mengumpulkan keberanian, Gara menurunkan kaki kanan dari pos kamling. Dengan diiringi degup jantung yang berdetak kencang, Gara melewati tempat menuju rumah Risma.