Mohon tunggu...
Zaula Dzikrona
Zaula Dzikrona Mohon Tunggu... Mahasiswa ilmu komunikasi UIN Sunan Kalijaga 24107030116

halo aku seorang ekstrovert

Selanjutnya

Tutup

Film

Lebih dari Sekedar Cinta: Pelajaran Kehilangan dalam Tak Ingin Usai

14 Juni 2025   10:28 Diperbarui: 14 Juni 2025   10:28 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Dalam semesta film Indonesia yang terus tumbuh, Tak Ingin Usai Sampai di Sini hadir sebagai karya yang tak sekadar menawarkan romansa, tetapi juga refleksi mendalam tentang kehilangan, keikhlasan, dan bagaimana manusia berdamai dengan masa lalu. Disutradarai oleh Destian Rendra, film ini mengeksplorasi luka batin dalam hubungan yang tak menemukan muaranya. Dengan visual yang puitis dan naskah yang emosional, film ini layak untuk masuk dalam daftar tontonan Anda yang mencari lebih dari sekadar hiburan.

Tak Ingin Usai Sampai di Sini menceritakan kisah pasangan muda, Raka (diperankan oleh Bryan Domani) dan Anya (diperankan oleh Syifa Hadju), yang tampaknya sempurna dari luar. Mereka telah bersama selama lima tahun berbagi mimpi, rencana masa depan, dan kenangan yang tampaknya tak tergantikan. Namun, kebersamaan yang lama bukan jaminan hubungan akan selalu baik-baik saja. Konflik batin, perbedaan prinsip, dan rasa lelah yang perlahan mengikis cinta mereka membuat hubungan itu berada di ujung tanduk.

Di tengah semua gejolak itu, Raka masih ingin memperjuangkan, sementara Anya mulai melepaskan. Film ini tidak menampilkan drama besar atau perselingkuhan sebagai biang kerok retaknya hubungan, melainkan menyoroti proses perpisahan yang sunyi namun menyakitkan: saat dua orang saling mencinta, tapi tak lagi bisa berjalan bersama.

Salah satu kekuatan utama film ini adalah bagaimana ia menyajikan dinamika hubungan dengan sangat realistis. Hubungan Raka dan Anya terasa sangat dekat dengan kenyataan, mungkin karena banyak penonton pernah atau sedang mengalami hal serupa---hubungan yang panjang, penuh harapan, namun tetap tak bisa dipertahankan.

Alur cerita yang berjalan lambat justru menjadi poin plus karena memberi ruang bagi penonton untuk ikut tenggelam dalam emosi setiap karakter. Rasa rindu yang tertahan, tangis yang ditahan, serta percakapan-percakapan ringan namun dalam, semuanya terasa nyata dan menyentuh.

Dialog-dialog yang sederhana namun kuat secara emosional menjadi senjata utama film ini. Misalnya, ketika Anya berkata, "Kamu tahu nggak, kadang mencintai itu juga berarti membiarkan pergi." Kalimat seperti ini menyayat namun sekaligus menegaskan kedewasaan dalam melihat cinta.

Penampilan Bryan Domani dan Syifa Hadju patut diacungi jempol. Mereka berhasil menghidupkan karakter Raka dan Anya bukan hanya lewat dialog, tapi juga lewat gestur tubuh, tatapan mata, dan keheningan yang berbicara banyak. Chemistry mereka kuat, tidak berlebihan namun cukup untuk membuat penonton percaya bahwa keduanya benar-benar pernah saling mencintai.

Bryan Domani memerankan Raka dengan emosional namun terkendali. Ia menampilkan pria yang rapuh namun tetap ingin memperjuangkan. Sementara Syifa Hadju sebagai Anya sangat meyakinkan wanita yang telah terlalu lelah mencintai dan memilih melepaskan bukan karena tidak sayang, tetapi karena sadar hubungan itu tak sehat lagi.

Secara visual, film ini menyuguhkan sinematografi yang lembut dan estetis. Tone warna yang dipilih cenderung hangat namun kelam, seakan mencerminkan suasana hati karakter utamanya. Banyak adegan diam yang didukung framing kuat, seperti dua karakter duduk berjauhan dalam satu ruangan sebuah simbol keterpisahan emosional meski secara fisik mereka masih bersama.

Musik dalam film ini juga menjadi elemen yang memperkuat nuansa melankolis. Soundtrack utama, "Tak Ingin Usai" yang dipopulerkan oleh Keisya Levronka, digunakan secara tepat. Lirik lagu yang penuh luka seolah menjahit adegan-adegan penting, terutama di bagian akhir film, ketika perpisahan bukan lagi sekadar keputusan, tetapi proses penyembuhan.

Film ini bukan hanya kisah cinta. Lebih jauh lagi, Tak Ingin Usai Sampai di Sini mengajak penonton merefleksikan banyak hal: apakah cinta harus selalu dimenangkan? Apakah bertahan dalam hubungan yang menyakitkan adalah bentuk cinta, atau justru bentuk pengkhianatan terhadap diri sendiri?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun