Mohon tunggu...
ZaskiaEP_DheaAK
ZaskiaEP_DheaAK Mohon Tunggu... Mahasiswa

Hobi kami menonton film

Selanjutnya

Tutup

Love

Living Together di Kalangan Mahasiswa Antara Kebebasan dan Tanggung Jawab

14 Oktober 2025   16:37 Diperbarui: 14 Oktober 2025   16:37 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah kehidupan kota yang sibuk saat ini, mahasiswa Indonesia membuat berbagai pilihan gaya hidup yang menunjukkan bagaimana masyarakat sedang berubah. Salah satu tren yang umum adalah kohabitasi. Ini berarti tinggal bersama pasangan di rumah yang sama tanpa menikah. Situasi ini memunculkan banyak pertanyaan tentang benar dan salah, apa yang diharapkan orang dari satu sama lain, dan apa yang seharusnya dilakukan mahasiswa. Hal ini dipandang sebagai perubahan budaya, mirip dengan cara hidup orang-orang di Barat. Sebagai mahasiswa, kita seharusnya menjadi contoh perilaku dan nilai-nilai yang baik dalam masyarakat. Namun, kohabitasi menunjukkan bahwa beberapa orang menggunakan kebebasan sebagai alasan untuk menghindari peran mereka dalam masyarakat. Ini menunjukkan bagaimana pengaruh global dan kemudahan akses informasi telah mengubah cara pandang anak muda tentang hubungan.

          Ada beberapa faktor yang menyebabkan mahasiswa memilih untuk tinggal bersama tanpa menikah. Secara internal, faktor pertama adalah pemahaman yang lemah tentang agama dan moral. Mahasiswa yang memiliki kendali diri yang rendah lebih mudah tergoda untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Faktor kedua adalah kebutuhan emosional. Mahasiswa yang jauh dari keluarga sering merasa kesepian dan mencari kenyamanan dari pasangan mereka, yang mengarah pada keinginan untuk selalu bersama. Faktor ketiga adalah keinginan untuk mengenal pasangan lebih dalam sebelum mengambil langkah menuju pernikahan. Banyak mahasiswa berargumen bahwa tinggal bersama dapat berfungsi sebagai "periode percobaan" untuk menilai kecocokan. Sementara itu, dari perspektif eksternal, tekanan ekonomi menjadi penyebab utama. Biaya hidup yang tinggi di kota-kota besar, seperti sewa, listrik, transportasi, dan makanan, membuat beberapa mahasiswa memilih untuk tinggal bersama demi menghemat pengeluaran. Selain itu, pengaruh teman sebaya dan media sosial juga berperan. Melalui konten digital, gaya hidup bebas dan modern sering dipromosikan sebagai hal yang normal dan keren, sehingga banyak mahasiswa secara tidak sadar menormalisasi perilaku ini. Kontrol sosial yang lemah di lingkungan kampus juga meningkatkan kemungkinan tinggal bersama, terutama karena mahasiswa tinggal jauh dari pengawasan keluarga. Orang tua hanya tahu bahwa anak-anak mereka aktif di asrama. Demikian pula, pemilik asrama mungkin tidak menegakkan aturan jam malam, dan karena tempat tinggal pemilik seringkali jauh dari asrama, pemantauan mereka terhadap mahasiswa yang tinggal di sana terbatas. Kesenjangan komunikasi antara pemilik asrama dan penyewa mereka turut berkontribusi pada masalah ini. Banyak mahasiswa memilih asrama sebagai tempat untuk melakukan hubungan seksual, yang dapat menyebabkan perilaku seks bebas yang berujung pada kehamilan di luar nikah, sehingga kehidupan seksual di asrama menjadi sangat liberal. Misalnya, di Palembang, terjadi kasus tragis yang melibatkan seorang pria paruh baya dengan dua anak yang memperkosa seorang mahasiswi. Insiden ini memicu kemarahan luas di kalangan masyarakat setempat, yang berujung pada tindakan main hakim sendiri oleh warga. Kasus ini tidak hanya menyoroti kegagalan individu dalam mengendalikan nafsu dan menghormati martabat orang lain, tetapi juga mencerminkan krisis moral dan lemahnya kontrol sosial di dalam komunitas.

            Mahasiswa yang tinggal bersama tanpa menikah sering kali merasa tidak nyaman atau tidak nyaman ketika berada di lingkungan sosial yang tidak mendukung gaya hidup mereka. Hal ini dapat menimbulkan masalah besar bagi pasangan tersebut dan anak-anak mereka. Di Indonesia, hidup bersama tanpa menikah tidak diakui oleh hukum, yang berarti pasangan tersebut tidak memiliki hak untuk mewarisi harta satu sama lain, berbagi harta bersama, atau mendapatkan bantuan hukum jika terjadi masalah. Jika salah satu pihak tidak bahagia atau ingin putus, tidak ada cara hukum untuk melindungi pihak lainnya. Hal ini dapat mengakibatkan hal-hal seperti kekerasan dalam pacaran, ejekan, atau bahkan kejahatan serius, seperti kasus pembunuhan baru-baru ini di Surabaya di mana hubungan yang tidak resmi berakhir dengan kekerasan. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan yang tidak didasari komitmen yang kuat dapat menyebabkan banyak penderitaan emosional dan kekerasan.

            Hidup bersama dapat berdampak besar pada pikiran dan perasaan seseorang. Tekanan moral, rasa takut ketahuan oleh keluarga atau orang lain, dan pergulatan antara mencintai seseorang dan merasa bersalah dapat menyebabkan banyak stres dan kekhawatiran. Banyak siswa merasa sedikit sedih atau tertekan karena tekanan dari orang lain dan beban emosional karena berada dalam hubungan yang tidak diakui secara resmi. Selain itu, ada banyak penolakan dari masyarakat. Di tempat-tempat yang masih menjunjung tinggi aturan agama, pasangan yang hidup bersama tanpa menikah sering menghadapi penghakiman atau pembicaraan yang tidak diinginkan. Hal ini menunjukkan bagaimana nilai-nilai tradisional dapat berbenturan dengan kehidupan yang lebih modern yang dipilih oleh beberapa anak muda. Untuk mengatasi hal ini, semua pihak yang terlibat perlu mengambil tindakan. Siswa harus belajar lebih banyak tentang agama, benar dan salah, dan apa yang menjadi tanggung jawab mereka. Mereka perlu memahami bahwa kebebasan harus disertai dengan pengendalian diri dan tanggung jawab terhadap diri sendiri, keluarga, dan komunitas mereka. Selain itu, penting untuk berdiskusi secara terbuka dengan orang tua dan staf sekolah. Banyak siswa yang memilih untuk tinggal bersama karena tidak tahu harus meminta bantuan atau nasihat ke mana. Sekolah harus lebih terlibat dengan menawarkan konseling dan pengajaran tentang hubungan yang sehat. Hal ini dapat dilakukan melalui diskusi, sesi bimbingan, dan kegiatan kelompok. Hal-hal ini dapat membantu siswa memahami mengapa perilaku tertentu berbahaya. Sekolah juga dapat menawarkan asrama murah agar siswa tidak perlu tinggal bersama pasangannya karena masalah keuangan. Selain itu, sekolah dapat meningkatkan bimbingan moral dengan menyelenggarakan acara dan kegiatan yang membangun hubungan baik di masyarakat.

            Masyarakat dan pemerintah juga memiliki tanggung jawab untuk mengatasi masalah ini. Pemerintah dapat menyediakan akomodasi mahasiswa yang layak dan terjangkau, seperti apartemen khusus mahasiswa, untuk mengatasi faktor ekonomi sebagai penyebab utama kohabitasi. Lembaga keagamaan dan tokoh masyarakat juga harus mengadopsi pendekatan edukatif, alih-alih menghakimi, untuk membantu mahasiswa memahami risiko moral dan sosial dari hidup bersama tanpa ikatan pernikahan. Selain itu, kampanye publik tentang nilai-nilai keluarga, tanggung jawab sosial, dan konsekuensi hukum harus terus digalakkan melalui media massa untuk mencegah masyarakat menormalisasi perilaku ini. Pemerintah juga dapat meninjau peraturan perundang-undangan yang lebih jelas untuk melindungi kelompok rentan, terutama anak-anak yang lahir dari hubungan di luar nikah, tanpa mengabaikan nilai-nilai agama yang menjadi landasan moral bangsa.

            Bersama-sama dengan mahasiswa lain tidak bisa hanya diselesaikan dengan menetapkan aturan ketat tentang apa yang benar dan salah. Diperlukan upaya besar dari berbagai pihak. Mahasiswa, sekolah, keluarga, masyarakat, dan pemerintah harus bekerja sama untuk menciptakan lingkungan di mana hubungan yang sehat dan bertanggung jawab dapat berkembang. Langkah penting adalah membantu mahasiswa memahami nilai-nilai baik, agama, dan cara menjadi bertanggung jawab. Memahami ajaran agama, aturan sosial, dan kewajiban pribadi dapat melindungi siswa dari perilaku yang bertentangan dengan apa yang benar. Baik universitas negeri maupun universitas Islam seharusnya menawarkan lebih banyak program yang membangun karakter, mengajarkan mata pelajaran agama, dan memberikan bimbingan spiritual. Hal ini akan membantu siswa tumbuh menjadi individu dengan nilai-nilai moral yang kuat saat mereka jauh dari rumah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun