Artikel ini menyoroti satu hal penting yang sering luput kita sadari: kemiskinan moral dalam komunikasi politik. Persoalan bangsa kita tidak hanya berhenti pada kebijakan atau regulasi, melainkan juga pada cara para pemimpin dan wakil rakyat menyampaikan pesan kepada masyarakat.
Seringkali, bahasa politik yang hadir di ruang publik hanya dipakai untuk pencitraan atau kepentingan jangka pendek. Retorika yang terdengar indah ternyata miskin substansi. Alih-alih mengedukasi dan memperjuangkan aspirasi rakyat, komunikasi politik justru berubah menjadi sarana mempertahankan kuasa.
Dampaknya jelas: jarak antara wakil rakyat dan warga semakin melebar. Rakyat kehilangan kepercayaan, lalu menjadi skeptis atau bahkan apatis terhadap politik. Padahal, komunikasi politik seharusnya berlandaskan nilai moral---kejujuran, empati, dan tanggung jawab---agar mampu membangun hubungan yang sehat antara penguasa dan warga negara.
Di sinilah pentingnya membumikan kembali moral dalam bahasa politik. Wakil rakyat harus mampu menghadirkan komunikasi yang jujur, transparan, dan membangun harapan. Di sisi lain, masyarakat juga harus kritis, tidak mudah terjebak dalam janji-janji kosong, dan terus mendorong hadirnya komunikasi politik yang lebih sehat.
Kesimpulannya, demokrasi tidak bisa hanya berdiri di atas prosedur pemilu dan sistem hukum. Ia memerlukan fondasi moral yang kuat dalam setiap bentuk komunikasi politik. Hanya dengan begitu, bahasa politik benar-benar dapat menjadi jembatan etis antara kuasa dan rakyat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI