Ketika wilayah pemukiman Siulak Mukai baru terbentuk menjadi dusun, datanglah musim tanam padi secara serentak padi yang musim panennya sekali dalam satu tahun yang dikenal dengan istilah "zaman padi tinggi". Namun setiap kali panen kegagalan demi kegagalan terus berlangsung sehingga bahan pangan menjadi sulit.
Dalam perihal menanam padi, ada banyak ritual yang dilakukan oleh Penduduk secara adat traditional, salah satunya dengan mengadakan ritual "Palaho" ayun luci, dan luci dipasang pada sawah untuk menghindari wabah dan hama, serta agar Yang Maha Kuasa memberikan berkah dengan padi yang berisi dan berkurangnya padi yang hampa.
Maka untuk mengatasi hal tersebut, duduk berundinglah para Petinggi Siulak Mukai untuk mencari jalan keluarnya, yaitu para "Balian Salih" mengadakan "Palaho" yaitu ritual adat tradisional yang masih berlaku sampai sekarang untuk meminta bantuan Roh Leluhur dan jawaban tersebut didapat secara ghaib, yaitu setiap habis tuai (musim panen padi) masyarakat Siulak Mukai kaum laki-laki / Hulubalang wajib melaksanakan perang “Tanah Buludai” yaitu perang yang dilakukan didalam sawah dengan cara saling melumuri teman dengan tanah lumpur sawah.
Setelah didapat kata sepakat, maka tiga cabang dari negeri Siulak Mukai waktu itu berangkatlah menuju lokasi perang tanah buludai, yaitu diseberang sungai Siulak Mukai / didepan Rumah Adat Siulak Mukai sekarang.
Dari dusun Mukai Mudik Berangkatlah : Depati Intan Tengah Padang, Depati Intan Kumalo Jambi, Depati Intan Panuko Rajo. Kemudian ditambah lagi : Depati Intan Kumalo sari, Depati Intan Tanah Mendapo, Depati Intan Tanah Mataram. Dari dusun Mukai Tengah Berangkatlah : Ajo Sulah Depati Singado, Ajo Sulah Putih, Ajo Sulah Kuadrat. Dari dusun Mukai Hilir Berangkatlah : Datuk Depati Panuku Rajo Meniti Tiang Satio, Datuk Depati Panuku Rajo Agung Penghulu Karang Satio, Datuk Depati Panuku Rajo Dewa Nyato Permadani Hampa Pasko.
Sesampai disawah yang terletak antara jalan desa Mukai Pintu dan Jalan desa Sungai Langkap, para suku/kalbu saling berperang dengan melumuri temannya dengan lumpur sawah. Disamping itu, perang di tanah buludai juga berlangsung untuk menghitamkan warna kain yang waktu itu berasal dari kulit batang pohon yang lebih dikenal di Kerinci sebagai Kain Trok.
Perang tanah buludai berlangsung setiap habis panen, yang disaksikan beratus-ratus penduduk Siulak Mukai, karena kalau tidak demikian hasil panen tidak akan meningkat/ padi tidak bagus hasinya.
Oleh karena itu, para Petua Adat sepakat, bahwa setiap habis musim panen mereka mengadakan tradisi Perang Tanah Buludai.