Baru-baru ini, mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengemukakan gagasan kontroversial yaitu membuka kembali Penjara Alcatraz, penjara legendaris yang dulunya dikenal sebagai tempat bagi para kriminal kelas berat. Ia menyebut bahwa fasilitas itu bisa digunakan untuk menampung pelaku kejahatan brutal yang dianggap tak lagi bisa ditoleransi. Meski terdengar seperti retorika politik belaka, ide ini membuka kembali diskusi mengenai bagaimana negara menghadapi kejahatan luar biasa. Dan lebih penting lagi apa yang bisa kita pelajari dari kasus ini, terutama dalam konteks Indonesia.
Alcatraz, yang dibangun di pulau terpencil di Teluk San Francisco, selama beberapa dekade menjadi simbol dari pendekatan keras terhadap kriminalitas. Bagi banyak orang, nama ini identik dengan kesan tak terelakkan yaitu sebuah pulau penjara di mana para penjahat paling berbahaya dikurung dalam sistem yang nyaris tanpa celah. Namun, ketangguhan penjara itu tidak cukup untuk mempertahankannya. Pada 1963, Alcatraz ditutup karena biaya operasional yang sangat tinggi dan infrastruktur yang memburuk. Kini, pulau itu menjadi objek wisata sejarah.
Meskipun rencana Trump belum tentu terealisasi, narasi ini menarik untuk dibandingkan dengan kondisi lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Kita memiliki "Alcatraz versi lokal" yang dikenal dengan nama Nusakambangan, sebuah pulau penjara di Cilacap, Jawa Tengah. Seperti Alcatraz, tempat ini dikhususkan bagi narapidana dengan risiko tinggi, seperti bandar narkoba, teroris, dan pelaku korupsi kelas kakap.
Namun perbandingan ini hanya valid sebatas fisik dan fungsinya saja. Dalam praktiknya, sistem peradilan dan pemasyarakatan Indonesia jauh lebih kompleks bahkan kontradiktif. Kita menyaksikan bagaimana banyak terpidana korupsi yang menikmati fasilitas mewah, mendapat remisi besar besaran, hingga keluar penjara jauh sebelum masa hukumannya usai. Alih alih menjadi simbol ketegasan, penjara di Indonesia justru sering menjadi panggung lunaknya keadilan.
Hukum Yang Tumpul Ke Atas
Ketimpangan penegakan hukum di Indonesia semakin nyata jika kita lihat bagaimana tiga cabang kekuasaan menjalankan fungsinya. Di sisi eksekutif, melalui Kementerian Hukum dan HAM, remisi terhadap narapidana korupsi kerap dipertanyakan. Contoh paling nyata adalah pemberian grasi dan pembebasan bersyarat terhadap terpidana kasus besar, yang justru menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi.
Di sektor legislatif, reformasi hukum tak kunjung datang. Revisi Undang Undang Pemasyarakatan dan UU Tindak Pidana Korupsi justru tersendat, atau bahkan melemahkan peran KPK. Sedangkan di lembaga yudikatif, vonis ringan terhadap koruptor menandakan bahwa integritas sistem peradilan masih jauh dari harapan. Beberapa kasus suap yang melibatkan hakim sendiri semakin memperburuk kepercayaan publik.
Berbeda dari pendekatan Trump yang cenderung otoriter dan berpusat pada kekuasaan eksekutif, sistem demokrasi di Indonesia seharusnya mengedepankan sinergi antar-lembaga. Sayangnya, ketika sinergi ini tidak berjalan, yang lahir justru ketidakadilan struktural yang mengakar.
Penjara: Rehabilitasi Atau Reputasi?