Masyarakat pedesaan kerap menganggap bahwa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi hanya menghabiskan waktu dan biaya, sehingga banyak remaja lebih memilih jalan pintas dengan langsung bekerja setelah lulus SMA. Bagi mereka, bekerja dianggap lebih realistis daripada berlama-lama duduk di bangku kuliah, apalagi melihat kenyataan bahwa tidak sedikit lulusan sarjana yang belum memperoleh pekerjaan layak (Sardono, 2021). Pandangan ini menimbulkan pertanyaan menarik: benarkah kuliah tidak penting, atau justru menjadi kunci perubahan masa depan? Data BPS 2025 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan penduduk Indonesia masih didominasi lulusan menengah ke atas, dengan rincian hanya 10,20% yang menamatkan perguruan tinggi, sedangkan lulusan SMA mencapai 30,85%, SMP 22,79%, dan SD 24,72%. Angka ini memperlihatkan bahwa sebagian besar anak Indonesia berhenti di jenjang menengah atas, sehingga pilihan untuk melanjutkan pendidikan tinggi masih terbatas. Lalu, apakah keputusan tersebut lahir dari keinginan pribadi, atau justru dipengaruhi keadaan ekonomi dan budaya yang mendorong mereka untuk segera bekerja setelah lulus SMA? Pertanyaan inilah yang penting ditelaah lebih dalam, karena jawabannya akan membuka cara pandang baru tentang arti penting pendidikan bagi masa depan generasi muda.
Masyarakat memandang bahwa pendidikan formal tidak penting, kebanyakan orang tua di desa lebih suka anaknya bekerja dan membantu orangtuanya daripada harus melanjutkan sekolah. Hasil penelitian Agustina & Salam (2019) mengatakan bahwa  orang tua yang mendukung pendidikan anak untuk melanjutkan jenjang yang lebih tinggi sangat rendah, orang tua terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan untuk menghidupi keluarga. Akibatnya  remaja lebih memilih bekerja setelah SMA. Adapun alasan pribadi seperti merasa kuliah terlalu mahal, ingin segera membantu orang tua, atau menilai bahwa menempuh pendidikan tinggi hanya membuang waktu karena hasilnya belum pasti.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan program wajib belajar 12–13 tahun, justru menjadi landasan remaja menempuh pendidikan hingga SMA sudah bagus. Anggapan setelah selesai melakukan kewajiban belajar, remaja di desa langsung beralih melanjutkan ke bekerja karena dorongan ekonomi dan budaya. Riani (2025) salah satu tantangan tentang persepsi dan budaya masyarakat pendidikan menengah atas lebih penting daripada pendidikan tinggi.Â
Setelah lulus SMA, alasan remaja dalam menentukan pilihan hidup ternyata tidak sesederhana yang terlihat. Rendahnya motivasi dan kebutuhan akan sosok inspirasi nyata di lingkungan sekitar seringkali menjadi faktor penting. Budaya juga berperan dalam mendorong keinginan pribadi, misalnya dalam segi ekonomi untuk belajar mandiri, namun ada juga yang beranggapan bahwa melanjutkan kuliah justru menghambat mereka membantu orang tua. Selain itu, banyak remaja menganggap kuliah membutuhkan biaya besar, sementara informasi tentang beasiswa belum merata terutama di desa, sehingga semakin memperkuat keputusan untuk tidak melanjutkan (Riadi et al., 2023; Abidin, 2023). Fenomena ini menunjukkan bahwa remaja sering lebih dipengaruhi oleh keadaan sekitar daripada keinginan pribadi. Penelitian-penelitian sebelumnya juga menegaskan hal ini, di mana faktor ekonomi menjadi penyebab utama remaja berhenti di jenjang SMA karena orang tua tidak mampu menanggung biaya kuliah (Jannah, 2022; Rachmawati, 2021). Dari sisi psikologis, motivasi yang rendah dan minat belajar yang kurang membuat banyak remaja lebih memilih bekerja cepat (Abidin, 2023). Bahkan, di beberapa lingkungan, bekerja setelah lulus SMA dianggap lebih wajar dan lebih dihargai daripada melanjutkan pendidikan tinggi, karena mampu lebih cepat menunjang ekonomi keluarga (Sardono, 2021). Semua temuan tersebut memperlihatkan bahwa keputusan remaja bukan hanya persoalan individu, tetapi juga hasil dari tekanan ekonomi, sosial, dan budaya yang saling terkait (Riadi et al., 2023).
Solusi dalam fenomena remaja memilih melanjutkan bekerja Sardono (2021) Menekankan sosialisasi pentingnya edukasi, dengan kunci mengubah pola pikir remaja desa. Mengedukasi bukan hanya soal nilai yang dibutuhkan, tetapi pemahaman yang mendalam dengan melanjutkan Pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi membuka jalan di masa mendatang. Pola pikir dibentuk dengan pendidikan tinggi membuka peluang yang lebih besar, peluang kerja lebih luas, penghasilan lebih baik, dan bahkan bisa berkontribusi lebih untuk keluarga maupun desa.Â
Peran keluarga dan lingkungan berpengaruh signifikan dalam menentukan pola pikir (Jamaludin, et. al, 2022). Orang tua bisa memberi teladan, mengarahkan anak dalam memilih jurusan sesuai minat, dan motivasi untuk tetap semangat belajar. Selain itu, sekolah dan guru memiliki peran yang signifikan, seperti guru memberikan edukasi tentang perkuliahan dan mendampingi proses masuk maupun proses pendidikan sehingga menghasilkan alumni yang sukses. Sosialisasi tentang beasiswa ke remaja desa bahwa biaya kuliah tidak menjadi penghalang mutlak. Praktik seperti ini mampu menjadi dorongan yang kuat dan tepat, sehingga remaja desa bisa melihat kuliah bukan sebagai beban, melainkan sebagai investasi jangka panjang. Dengan demikian, sekolah tidak hanya menjadi tempat untuk mempelajari teori, tetapi juga tempat untuk membangun harapan dan keyakinan bahwa pendidikan dapat mengubah masa depan.
Kunci selanjutnya untuk merubah paradigma pentingnya pendidikan adalah growth mindset (Sardono, 2021) mengatakan. Teori growth mindset layak untuk diperkenalkan sebagai untuk merubah pola pikir berkembang. sebaliknya dengan fixed mindset remaja meyakini kemampuan seseorang tidak bisa berubah. Growth mindset menekankan untuk meyakini kecerdasan dan keterampilan bisa berkembang dengan berusaha, strategi yang tepat, dan dukungan lingkungan (Koto et,. al 2024). Remaja desa yang semula merasa kuliah mustahil karena kondisi ekonomi, bisa didorong untuk percaya bahwa mereka punya peluang berkembang selama berani mencoba dan tidak menyerah pada keadaan.Â
Teori growth mindset menurut Dweek (2016) terdiri dari lima aspek, yang dapt dijadikan pegangan bagi remaja di desa sebagai berikut:
1. Keyakinan bahwa usaha dan kerja keras dapat membawa perubahan nyata, sehingga mereka tidak merasa terjebak pada keadaan. Pintar sifatnya relatif, tidak pintar bukan berarti tidak bisa, melainkan pintar bisa diasah. Remaja menyadari bahwa kecerdasan dan kemampuan dapat dikembangkan melalui proses belajar, latihan, dan pengalaman. Misalnya seorang remaja yang harus membantu orang tuanya di sawah tetap bisa berprestasi di sekolah karena percaya bahwa usaha tidak akan sia-sia.
2. Keberanian menghadapi tantangan, di mana hambatan justru dipandang sebagai kesempatan untuk belajar. Remaja memanfaatkan peluang dengan mencoba beasiswa, berpikir kuliah dengan bekerja, atau mencari peluang lain tentang program pendidikan jarak jauh.
3. Sikap positif terhadap kegagalan, dengan meyakini bahwa kegagalan hanyalah bagian dari proses menuju keberhasilan. Kegagalan bagian dari proses belajar, langkahnya mengevaluasi kekurangan dan memperbaiki. Seperti remaja yang pernah gagal dalam ujian masuk perguruan tinggi atau gagal tidak mendapatkan beasiswa tetapi menjadikannya pengalaman untuk belajar lebih giat dan mencoba lagi tahun berikutnya.Â
4. Kesadaran bahwa kemampuan dapat berkembang bila disertai strategi yang tepat serta dukungan dari orang sekitar. Remaja melihat bahwa pendidikan merupakan investasi jangka panjang. Remaja akan mampu memandang keberhasilan tidak datang secara instan, tapi melalui kerja keras dan ketekunan. Seperti banyak peluang beasiswa, remaja menata strategi pola belajar dan memenuhi persyaratan beasiswa.
5. Kritik dan keberhasilan orang menjadi motivasi untuk terus berkembang bukan ancaman. Remaja melihat seusianya yang memiliki motivasi pendidikan tinggi dan didesa lain yang berhasil kuliah. Seperti ada yang berhasil kuliah lewat jalur beasiswa karena berani mencari informasi dan tidak takut bersaing. Pengalaman orang lain dijadikan sebagai motivasi bukan perasaan tertinggal.Â
Buku Dalimunthe (2024) menjelaskan bahwa Growth mindset bukan semalam langsung terbentuk, akan tetapi membutuhkan usaha yang konsisten, kesadaran secara mendalam dan latihan yang berkelanjutan. Selain itu, membangun growth mindset bukanlah tanggung jawab individu semata, melainkan membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah yang menyediakan akses pendidikan merata, sekolah yang mengadakan program motivasi dan bimbingan, hingga komunitas desa yang aktif memberikan ruang belajar nonformal. Layanan informasi yang inovatif dan terstruktur yang mampu memiliki potensi besar tentang motivasi pendidikan lanjut (Mawadah et., al, 2025). Dengan dukungan bersama, remaja di desa akan lebih mudah melihat bahwa kuliah bukan hanya milik mereka yang berada di kota atau keluarga mampu, melainkan peluang yang bisa diakses siapa saja.
Pada akhirnya, membicarakan masa depan remaja desa bukan sekadar tentang bekerja atau kuliah, melainkan tentang memberi kesempatan yang adil untuk berkembang. Dalimunthe (2024) Remaja yang mengadopsi pola pikir berkembang memahami hidup merupakan perjalanan, bukan tentang perlombaan. Sehingga mampu menghargai setiap langkah kecil, meskipun hasilnya belum terlihat. Sikap ini tidak hanya membantu untuk mencapai tujuan, tetapi juga membuat perjalanan hidup terasa lebih bermakna dan memuaskan. Remaja di desa perlu diyakinkan bahwa keterbatasan bukan akhir dari mimpi, dan setiap usaha mereka punya nilai. Dengan dukungan keluarga, guru, pemerintah, serta masyarakat, remaja di desa bisa menatap masa depan dengan penuh optimis. Jika kita percaya bahwa pendidikan adalah investasi, maka membantu mereka berani melanjutkan sekolah adalah bagian dari investasi bersama untuk masa depan bangsa.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI