Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Aktivis Chit-chat? Ini 4 Cara Memulai dan Merawat Percakapan di WhatsApps

11 Februari 2020   14:12 Diperbarui: 11 Februari 2020   14:45 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pixabay.com

Memulai sebuah interaksi, entah itu pertemanan, asmara atau pekerjaan, selalu dimulai dengan membuka sebuah percakapan. Sepertinya, terlihat mudah. Namun, tak semua orang memiliki kemampuan membuka percakapan.

Percakapan yang hangat dan renyah, serta menjaganya agar berlangsung lama, butuh tips dan triks khusus. Agar pembicaraan tak terjebak pada dialog basa basi dan garing. Semisal percakapan di bawah ini ;

"Apa kabar, Bang?"

"Hamdallah, baik."

"Lagi ngapaian?"

"Pegang HP, kan?"

Pernah alami percakapan begini? Dua pertanyaan dan jawaban itu, menjadi titik pemberhentian yang tak pasti. Menjadi posisi serba salah. Mau melanjutkan pembicaraan atau berhenti.

Banyak artikel yang menuliskan tentang cara, tips atau triks untuk memulai percakapan. Dari kalimat pembuka yang formal, biasa hingga tak biasa. Baik di tempat kerja, di restoran, tranportasi publik semisal pesawat, bus atau kereta api, atau ruang tunggu rumah sakit.

Karena akan ada momentum setiap orang bakal terjebak pada situasi mesti bersama dalam waktu lama. Kayaknya aneh juga jika tak saling sapa, kan? Jika bertemu langsung, ekspresi wajah, intonasi suara serta bahasa tubuh, bisa memperbaiki keadaan.

Namun jika situasi itu dialami dengan orang yang baru dikenal melalui aplikasi WhatsApp Grup (WAG), dan belum sekalipun berjumpa, bagaimana? Jadi, aku memilih menulis pengalamanku saja, ya? Izin, ya?  

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Cara Memulai dan Merawat Percakapan di WhatsApp Grup

Biasanya akan muncul rasa ragu dan gugup saat memulai percakapan. Ada kekhawatiran dianggap sok akrab atau malah dinilai lebay bin alay. Ini beberapa cara yang bisa dilakukan.

Pertama. Mencari tahu "siapa" lawan bicara.

Ini hal penting. Agar gak salah kaprah. Tak harus profil detail seperti data membuat KTP. Minimal nama, mungkin profesi atau jenis pekerjaan, serta asal domisili.

Susahnya, era sekarang banyak fake dan kloningan. Setidaknya tahu jenis kelaminnya. Agar tak seperti percakapan berikut ini :

"Salam. Apa kabar, Mas?"

"Aku perempuan! Kenapa disapa Mas?"

"Eh, maaf, Mbak!"

[Percakapan langsung terhenti. Ungkapan maaf dibalas emoji bulat-bulat yang multi makna]

Kedua. Memilih waktu percakapan.

Usai mendapatkan profil lawan bicara. Butuh juga menyigi waktu-waktu sibuknya, jam istirahat serta menandai kapan biasanya yang bersangkutan aktif di WAG. Ini penting? Pasti. Agar tak ada benih-benih curiga dan merasa tak dianggap.

Atau, siap-siap saja percakapan itu diabaikan, jika mengirim pesan pada seseorang yang berprofesi guru. Karena mengirimnya pada jam sekolah, semisal interval jam 7 -- 9 pagi hari. Atau mendapat jawaban yang bikin perih. Misal :

"Selamat pagi, Mbak!"

"Maaf, Mbak. Masih ngajar!"

"Oh! Maaf..."

[Tak lagi ada balasan. Percakapan terhenti. Berusaha memaklumi, merasa bersalah atau meredam kecewa]

Ketiga. Menentukan topik yang disukai atau dikuasai lawan bicara.

Umumnya, pembentukan sebuah WAG berdasarkan kesamaan anggota. Berbasis hobi, asal sekolah (alumni) atau Organisasi. Nah, ada baiknya memulai topic pembicaraan berdasarkan ide awal adanya grup. Kecuali sudah sering berinteraksi, topik apapun bakal jadi "bumbu penyedap".  

Tak menutup kemungkinan lawan bicara orang yang menguasai banyak hal. Namun, untuk memulai pembicaraan, idealnya tak jauh-jauh dari topik grup, kan? Ada grup menulis, grup hidroponik, grup pencinta burung kacer dan seterusnya. Coba semisal percakapan di grup hidroponik ini :     

"Bang, berapa hari memindahkan benih kangkung, sesudah disemai?"

"3 - 5 hari. Eh, Brad Pitt akhirnya dapat Oscar, loh?"

"Brad Pitt?'

"Iya. Padahal udah berkali-kali Cuma jadi nominator. Akhirnya..."

"Oscar itu apa, Bang? Hadiah? Brad Pitt ikut lomba apa? Kenapa aku gak diajak?"

[Percakapan pasti berhenti. Sambil menyimpan jengkel].

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Keempat. Berbicaralah tentang "Anda" bukan "Saya".

Teman-teman di bagian marketing pasti mengenal kredo ini. Misal saat mempresentasikan produk pisau dapur di hadapan peserta arisan ibu-ibu.

"Ada lima jenis pisau yang harus ibu-ibu miliki di dapur. Ini juga disediakan alat menyimpannya yang aman dari jangkauan anak-anak. Tak perlu diasah cukup dibersihkan dengan kain lap. Kenapa banyak? Karena pisau ini dibuat khusus untuk membantu ibu, agar lebih mudah. Untuk memotong sayur gunakan yang ini! Jika daging atau ikan, pisau yang ini! Nah, kalau buah yang ini. Jika ibu membeli ini, manfaatnya...."

Respon akan berbeda jika salesman melakukan presentasi pisau dapur dengan kalimat :

"Perusahaan kami menciptakan pisau ini, melalui teknologi canggih. Pisau ini terbuat dari bahan anti karat. Perusahaan kami telah dipercaya memproduksi secara massal pisau ini di Amerika, Eropa dan Afrika. Kami..."

Dijamin, dalam dua menit. Ibu-ibu peserta arisan udah mulai bergosip lagi setelah tadi tertunda. Hihi...

Begitu juga dalam memulai percakapan di WA atau WAG. Berbicaralah tentang lawan bicara. Hingga mereka merasa dekat dan akrab. Misal :

"Apa kabar, Bang?"

"Hamdallah, baik. Ini lagi sibuk!"

"Waduh, Maaf! Kalau begitu, aku..."

"Sibuk mikirin kamu!"

"Gombal! Aku juga lagi repot, Bang!"

"Repot mengusir rindu, kan?"

Percayalah, percakapan dengan bentuk komunikasi begini, bakal bertahan lama. Malah ada yang bertahan sekian jam. Aku salah satunya. Ahaaay...

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Aktivitas Chit-chat Tak Bermanfaat?

Namun ada juga, yang merasa heran. Kenapa betah chit-chat di grup? Dari pada ngobrol gak jelas, lebih baik melakukan hal-hal yang bermanfaat dan berguna!

Aih, Aku sering sedih kalau ada yang berfikiran begitu. Kenapa musti manfaat dan berguna menjadi ukuran berkomunikasi? Bukannya percakapan adalah salah satu kebutuhan?

Haruskah berinteraksi jika ada manfaat dan berguna saja? Jika tidak memberi nilai manfaat, bakal diabaikan dan disingkirkan? Apatah komunikasi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan dan keinginan saja?

Bagiku, percakapan adalah cara memanusiakan manusia. Dan, hal itu bisa dinikmati, jika berani dan memahami cara memulai dan merawat percakapan tersebut.

Demikian, semoga bermanfaat! Jika sepakat, hayuk salaman!

Curup, 11.02.2020

zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun