Kucoba mengerti. Jika padamu, ketika bicara rasa akan ada airmata. Tak harus miliki sebab. Tapi kuingin tahu. Berkali, beningmu tak mampu sembunyi. Selalu hadir untukku. Hari itu, kali kedua. Mata air matamu tertuju padaku. Kau usap beningmu dengan ujung jilbabmu. Aku masih menatapmu.
"Sampai kapan, Nik?"
"Apa?"
"Air mata itu?"
Tak ada jawabmu. Kau diam. Jemari tangan kananmu, kembali mengusap matamu. Sesaat kau menatapku. Tak mampu kumaknai tatapan itu. Kubiarkan. Jika itu caramu mengurai rasamu. Tapi aku tahu. Kau ingin, aku yang bicara.
"Nik ingat waktu kucari kostmu bareng Pipinx, kan?"
"Daftar UMPTN?"
"Iya. Saat itu, kuujarkan keinginanku..."
"Kau ingin lulus dan kuliah, kan?"
"Itu yang pertama!"
"Eh? Seingat Nunik, cuma itu!"
"Dua! Yang kedua, belum kuucapkan!"
"Yang kedua apa?"
"Kau milikku!"
Nadaku pelan. Lugas. Aku yakin, kau dengar ucapanku. Aku memandangmu. Menatapmu. Kau tertegun, membalas tatapku. Tak lama. Kau menunduk, memainkan jemari dua tanganmu. Tautan jemarimu erat. Ada keresahan di sikap dudukmu. Tapi tak kudengar suaramu.
Suasana menjadi hening. Kau dan aku hanya diam. Adzan ashar, sudah sejak tadi. Cuaca di akhir agustus, tak bisa diduga. Sepertimu, yang tiba-tiba berdiri. Menatapku yang terkejut.
"Nik, mau pulang!"
"Eh! Pulang?"
"Mendung! Pagi tadi, Nik jemur pakaian!"
Aku tertawa. Sekilas kau tersenyum menunggu. Aku berdiri dihadapmu. Mengacak kepalamu. Aku jadi tahu, tak semua harus diujarkan.
"Naik angkot atau Biskota?"
"Biskota. Biar cepat. Nanti keburu hujan!"
"Hayuk!"
Aku melangkah mendahului. Kau bergegas, berjalan di sisi kiriku. Kau raih lengan kiriku, saat menyeberangi jalan. Melewati kantor polisi. Berbelok kearah kiri, berhenti di halte. Persis di depan Kantor Pos. Tak lama, Biskota jurusan Pasar Raya -- Tabing berhenti. Segera naik. Semua bangku terisi. Mesti berdiri. Aku tersenyum menatapmu. Bus bergerak. Melewati jalan Sudirman, menyusuri jalan Khatib Sulaiman. Sesekali berhenti di halte. Silih berganti, penumpang naik dan turun.