Status sosial sering kali menjadi sekat tak kasat mata dalam kehidupan sehari-hari. Ada batas antara kaya dan miskin, kuat dan lemah, berpendidikan dan tidak. Padahal, Islam hadir sebagai rahmatan lil 'alamin---rahmat bagi seluruh alam---yang justru menekankan kesetaraan di hadapan Allah SWT.
Salah satu peristiwa yang mengajarkan hal ini terekam dalam Q.S. Abasa ayat 1--4. Kisah yang melibatkan Rasulullah SAW dan sahabat Abdullah bin Ummi Maktum menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya menghargai sesama, tanpa memandang latar belakang sosial maupun kondisi fisik.
Asbabun Nuzul Surat Abasa
Menurut beberapa kitab tafsir, surat Abasa turun berkenaan dengan Abdullah bin Ummi Maktum, seorang sahabat Nabi yang buta. Beliau termasuk sahabat mulia, bahkan sempat menjadi imam salat dan muazin setelah Bilal bin Rabah.
Suatu ketika, Rasulullah SAW tengah berbicara dengan para pembesar Quraisy, berharap mereka menerima Islam. Di saat yang sama, Abdullah bin Ummi Maktum datang ingin bertanya tentang ajaran Islam. Karena fokus pada para pembesar Quraisy, Rasulullah SAW sempat mengabaikannya dengan wajah masam.
Allah kemudian menurunkan Q.S. Abasa ayat 1--4 sebagai teguran sekaligus pengingat, bahwa tidak sepantasnya seorang mukmin membeda-bedakan orang berdasarkan status sosial atau kondisi fisiknya.
Tafsir Singkat Q.S. Abasa Ayat 1--4
Ayat ini dimulai dengan gambaran: "Ia bermuka masam dan berpaling, karena datang seorang buta kepadanya." Pesan utama dari ayat ini adalah bahwa siapa pun berhak mendapatkan perhatian, bahkan mereka yang secara duniawi tampak lemah atau tidak berpengaruh.
Para mufasir seperti Ibnu Katsir, At-Thabari, dan Al-Baghawi menjelaskan bahwa peristiwa ini menjadi titik balik: sejak saat itu, Rasulullah SAW selalu memuliakan Abdullah bin Ummi Maktum. Bahkan, setiap kali bertemu beliau, Rasulullah menyambut dengan penuh hormat.
Relevansi Bagi Kita