Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rohingya, Saya Datang

6 September 2017   07:24 Diperbarui: 6 September 2017   08:13 1209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*****

Ibuku meraung-raung atas keputusanku pergi ke Rohingya. Bapakku menatap tajam atas permintaanku untuk berangkat ke Rakhine State dimana etnis muslim Rohingya ditindas. Mereka terlihat terkejut dengan keputusan di luar nalarnya. Air mata ibu terus mengalir tanpa henti. Bola mata bapak tak henti-hentinya menatap ke langit-langit rumah.

"Nak, aku bangga padamu." Itulah kata-kata pembuka ayah yang tak disangka mengatakan  itu. Perkiraanku ayah akan marah dan tidak setuju.

"Jadi Pak, Bapak menyetujui Dadang berangkat ke Myanmar untuk membantu etnis Rohingya?" tanyaku penuh dengan selidik.

"Sebagai seorang lelaki, ayah menyetujui. Tapi sebagai seorang suami, ibumulah yang berhak untuk mengizinkanmu." Cetus ayah.

Aku tak berani mendekat ke Ibu. Raungan tangisnya membuat aku bersalah. Bukannya pulang ke rumah untuk membahagiakan, tapi malah membuat beliau menangis. Sejujurnya, aku sangat mencintai Ibuku melebihi segalanya. Ibulah yang telah menguatkan tekadku untuk berangkat ke Pesantren. Ia lah yang membesarkan hati untuk tetap setia di pesantren tanpa mengikuti tren anak muda sekarang yang kuliahan. Ibu pula yang memberikan pelukan hangat ketika pulang dan sangat menentramkan. Namun, hari ini sangat beda. Rohingya telah memisahkan kami berdua.

Tatapan matanya begitu menusuk mataku saat ia berhenti menangis. Aku tak kuasa menahan pandangannya. Aku tundukan kepala dan tak berani lagi membantah. Apapun yang Ibu katakan akan aku lakukan dan patuhi. Menyakitinya akan membuat bersalah seumur hidupku. Ia terlalu mulia untuk dibandingkan rasa cinta kepada wanita lainnya. Ia terlalu suci untuk dikotori dengan ketidak setiaan anak pada orang tuanya.

"Nak, aku bangga padamu." Itu saja yang meluncur di mulutnya. Lalu kemudian ia berangkat ke kamar dan menutup pintunya dengan pelan. Aku semakin tak paham maksudnya. Apakah ia mengizinkan atau marah atas permintaanku. Ingin rasanya aku menyusulnya ke kamar seperti usiaku yang baru sepuluh tahun. Aku merengek di kasurnya dan membuat Ibu tak kuasa menolaknya. Ciuman yang mendarat di pipiku biasanya adalah indikator persetujuannya. Tapi sekarang, itu tak mungkin aku lakukan.

"Pak, apa yang harus Dadang lakukan? Apa Ibu mengizinkan atau tidak?" tanyaku kepada Ayah yang sedang mematung melihat istrinya pergi ke kamar.

"Biarkan ibumu untuk menikmati kesedihannya. Bagi ayah, ibumu memiliki dua rasa yang tak bisa diwakili kecuali dengan menangis." Saran ayah kepadaku.

"Maksud Bapak?" selidiku lebih jauh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun