Mohon tunggu...
MUHAMAD ZARKASIH
MUHAMAD ZARKASIH Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Pemerhati Masalah Sosial, Budaya dan Politik

Pemerhati Masalah Sosial, Budaya dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Anak-anak dalam Pusaran Politik di Indonesia

5 Februari 2021   13:37 Diperbarui: 5 Februari 2021   18:23 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kita seringkali kaget ketika ada anak-anak di dalam sebuah kegiatan yang bersifat politik, seperti demo atau kampanye. Ada kepatutan yang terasa tersenggol, yang menciptakan perasaan kurang nyaman. Ada nuansa "kekerasan" di dalam.aktivitas demo atau kampanye, sehingga anak-anak rasanya kurang pantas ada di wilayah kegiatan itu.

Tapi itu kerapkali terjadi dan kita juga melihat para orang tua atau orang yang mengajak anak-anak itu terlihat happy, tanpa beban. Lalu dimana sebenarnya posisi anak-anak di dalam pusaran politik di Indonesia?

Praktisi pendidikan Seto Mulyadi mengakui bahwa sebagian kalangan menolak sama sekali persentuhan anak-anak dengan politik. Sebagian lagi memandang sebaliknya, politik justru amat penting dan bermanfaat bagi anak-anak. Yang keliru adalah menyalahgunakan anak-anak dalam kegiatan politik.

Begitu pula posisi negara sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Meski demikian, memberikan pemahaman yang salah tentang politik akan berdampak pada munculnya sikap atau persepsi keliru anak-anak terhadap politik.

Memang seperti ada dua hal yang saling bertentangan dalam soal anak-anak di politik ini. Dua hal yang memiliki dampak besar. Pertama, jika membawa anak-anak ke dalam aktivitas politik, maka bisa menumbuhkan persepsi kurang baik tentang politik itu, memandang dari sudut isu atau pemberitaan tentang politik yang gencar mengangkat soal korupsi, kecurangan, pertentangan bahkan fitnah.

Anak-anak dikhawatirkan akan terjebak dalam pola pikir bahwa seperti itulah politik. Kecenderungan untuk alergi, bahkan membenci politik, bisa jadi dilatarbelakangi oleh penyempitan makna kata itu sendiri. Politik sudah telanjur diidentikkan sebagai --seolah-olah-- sekadar birahi mengejar kekuasaan atau nafsu akan uang belaka.

Pemberitaan gencar tentang politisi-politisi parlemen yang diringkus sekaligus oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), politisi-politisi yang bermain kata dengan logika-logika ajaibnya, bisa saja menyimpangkan pemahaman anak akan potret politik yang sejatinya amat mulia.

Kedua, jika menjauhkan anak-anak dari wilayah politik sepenuhnya, maka dampak yang paling terasa adalah anak-anak itu akan bersikap apatis terhadap politik, yang akhirnya bermuara pada turunnya partisipasi aktif mereka di politik pada beberapa tahun kemudian.

Sikap antipati pada politik, apalagi bila diutarakan secara terbuka di ruang publik, dapat berdampak negatif bagi anak-anak. Hal itu akan berimbas pada ketidaktertarikan anak-anak untuk terlibat dalam kancah politik, atau bahkan menjadi politisi saat dewasa kelak. Bila sikap antipati sedemikian rupa sudah semakin menumpuk, maka masa depan bangsa ini justru yang akan dipertaruhkan.

Apa yang dikatakan oleh Kak Seto itu setidaknya ada bukti yang mendukung. Di beberapa negara ada penurunan partisipasi atau minat terhadap politik di kalangan muda  Di Inggris, sebagai contoh, Survey Institute for Social and Economic Research di University Essex tahun 2011-2012 menunjukkan bahwa minat kaum muda berusia 16-25 tahun untuk berpartisipasi pada pemilu hanya berkisar sekitar 50%.

Bayangkan apabila minat berdemokrasi itu semakin tidak berkembang, maka dikhawatirkan kelak hanya setengah dari jumlah kaum muda itu yang akan memberikan suara. Hanya sebagian dari anak-anak muda harapan bangsa itu yang terpanggil untuk memulai langkah episode panjang pembangunan di negaranya.

Sampai di sini kemudian harus didapatkan sebuah sikap bijak dari semua stake holder yang berhubungan dengan perkembangan jiwa anak-anak dalam konteks pemahaman tentang politik. Sikap yang keliru akan melahirkan persepsi keliru anak-anak terhadap politik. Pendidikan politik yang baik harus diberikan kepada anak-anak, di rumah atau di sekolah.

Setidaknya, dimulai dari unsur politik yang terpenting yaitu demokrasi. Membicarakan atau memecahkan sebuah masalah selayaknya dilakukan secara bersama (di rumah atau di sekolah) dengan mengundang partisipasi aktif dalam memberikan solusi pemecahan masalah.

Selain itu, yang patut diletakkan pada tempat yang sebenarnya adalah justru menjernihkan makna politik itu sendiri. Politik adalah upaya untuk memperjuangkan kesejahteraan seluruh warga bangsa, termasuk seluruh anak-anak. Itu. Bukan mimpi bergelimang uang ataupun kekuasaan. Dengan pemaknaan sedemikian rupa, politik menjadi kaya akan warna altruistis. Bukan egoistis.

Kebiasaan yang patut terus dikembangkan terkait dengan hal itu adalah kesediaan untuk mau terus belajar, rajin membaca, dapat mendengarkan dan menghargai orang lain serta mampu bekerja sama. Dengan kata lain, selain kecerdasan logika dan kreativitas, kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial pun amat penting dalam politik.

Karena memperbaiki masa depan tidak mungkin hanya dilakukan seorang diri saja, sehingga menempa kedua kecerdasan di atas, akan mendorong kemampuan untuk mengajak orang-orang lain agar dapat berjuang seirama dengan tujuan mulia bersama.

Politik praktis mungkin memang bisa dijauhkan dari anak-anak, tapi tidak pendidikan politiknya. Anak-anak harus diajarkan tentang berbagai hal yang berhubungan dengan politik, seperti sikap integritas, sportivitas, demokrasi, kejujuran dan nasionalisme.

Dalam konteks itu ada banyak tokoh politik yang bisa diajukan kepada anak-anak, untuk mengimbangi pemberitaan tentang keburukan atau kesalahan yang dilakukan oleh para politikus.

Anak-anak adalah pemilik masa depan negeri ini. Setiap contoh baik kepada anak-anak akan melahirkan sikap kedewasaan, kearifan dan kebijaksanaan mereka di masadepan. Contoh baik tentang pendidikan politik tentu saja bukanlah membawa mereka ke kegiatan demonstrasi atau kampanye.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun