Saya tertegun. Saya ingat, saya memang pernah membaca naskah Bob Brandon. Entah kapan saya membacanya, kemarin? Minggu lalu? Atau bulan ini? Akh, saya tak ingat lagi. Yang saya ingat judul cerpen itu Ungkapan Jiwa. Tapi saya telah memutuskan cerpen itu layak muat.
"Ya." Saya mengangguk lalu menyebut judul cerpen itu. "Saya pernah membacanya. Tapi..."Saya tidak melanjutkan kalimat. Saya ragu mengatakan bahwa cerpen Bob Brandon itu tidak bermutu. Nanti Bob Brandon tersinggung.
"Itulah cerpen saya yang terakhir, Agam. Cerpen itu saya persembahkan buat seorang gadis yang sangat saya cintai. Tapi gadis itu tak mengerti perasaan saya. Mudah-mudahan setelah cerpen saya itu dimuat, ia akan membacanya. Dan ia akan mengetahui bahwa saya sangat mencintainya. Saya akan merasa sangat bahagia bila ia menanggapinya. Minimal lewat surat. Karena kami memang sudah berjauhan."
Saya termangu-mangu. "Tapi-tapi...."
"Tolonglah saya, Gam. Saya sangat mengharapan cerpen itu dimuat. Saya akan tenang kalau gadis itu sudah membacanya. Dan saya akan berterima kasih padamu."
"Tapi, Bob..." suara saya tersendat.
Bob Brandon menatap saya dengan sorot mata yang aneh. Kemudian perlahan-lahan sorot matanya itu berubah mengerikan.
Saya berteriak, berteriak, dan... saya tersentak bagun. Tiba-tiba seekor cecak jatuh dari plafon tepat mengenai muka saya.Â
Sialan! Umpat saya.
Saya bangkit dan memegangi kepala. Saya baru saja bermimpi. Mimpi bertemu dan bicara dengan Bob Brandon. Jelas sekali apa yang saya bicarakan dengan pengarang yang sudah meninggal itu. Tentang cerpennya. Cerpen Bob Brandon yang telah saya campakkan ke tempat sampah. Tapi, ah... mimpi itu kan ibarat bunga tidur. Tak usaha dijadikan beban.
Saya membaringkan kembali tubuh saya. Beberapa menit kemudian, saya tertidur lagi.