Mas Isman menatap saya. "Mengertilah kesibukan saya. Gam."
Saya tiba-tiba menyesal telah melontarkan pertanyaan itu. "Baiklah, Mas," ujar saya. "Tapi... soal honornya?"
"Ah itu bukan urusan kita di redaksi. Soal honor dan segala tetek bengeknya, biar diatur Tata Usaha."
Lagi-lagi saya menyesal. Saya merasa seperti orang bodoh saja. Tapi sungguh, Â saya merasa aneh melihat Mas Isman. Dan lebih aneh lagi karena Mas Isman begitu ngotot mau memuat Cerpen Bob Brandong ini. Padahal dia sendiri yang bilang tidak layak muat. Bagaimana cara Mas Isman menilai sebuah cerpen? Kok pendiriannya bisa berubah-ubah gitu. Tapi, saya malas untuk protes.
Saya bingung. Cerpen yang menurut Mas Isman tidak bagus ini mau dipaksakan untuk bisa dimuat. Saya kurang sependapat dengan cara ceperti itu. Begitu Mas Isman tidak Nampak lagi di depan mata, saya pun menghela napas. Saya lihat Mas Isman berjalan ke bagian Artistik.
Saya tambah bingung. Apakah stok cerpen di majalah Gaya sudah habis? Rasa-rasanya tidak mungkin. Yah, tidak mungkin. Cerpen yang datang ke redaksi tiap hari saja puluhan jumlahnya. Tapi... ah, sebaiknya saya baca saja dulu cerpen ini. Saya pun serius membacanya.
Dan kelelahan pun menyergap mata saya sebelum tuntas membaca cerpen di hadapan saya. Namun sekilas saya bisa menilai cerpen itu bukan Cuma bahasanya saja kurang lincah, tapi Bob Brandon juga menampilkan tema yang klise, tema yang terlalu sering digarap pengarang.
Coba bayangkan, Bob Brandong hanya berkisah tentang tokoh "Aku" yang punya sahabat seorang gadis bernama Karina. Si Aku sebenarnya bukan cuma menganggap Karina sebagai sahabat. Tapi lebih dari itu. Masalahnya si Aku sulit berterus terang. Sampai kemudia jarak memisahkan mereka. Dan harapan si Aku pun kandas di tengah jalan.
Saya lalu membaca bagian terakhir cerpennya.
Aku merasa sangat kesepian setelah Karina pindah tempat tinggal. Bukan Cuma kesepian, tetapi aku pun merasa sangat menyesal karena aku belum sanggup mengungkapkan sgenap perasaanku sampai kami berpisah. Ah, Karina... ketahuilah bahwa aku mencintaimu. Yah, sangat mencintaimu. Saying dia tidak pernah menyadarinya. Dan ungkapan jiwaku tidak pernah berhasil terlontar ke luar dari bibirku. (Buat Felicia : Malu ah! Aku hanya sanggup berterus terang lewat cerpen).
Ah, cerpen itu ternyata lebih jelek dari apa yang saya duga sebelumnya. Saya heran juga, dari sekian banya Karya Bob Brandon yang pernah say abaca, mungkin cerpe inilah yang terjelek. Saya langsung menyisihkan naskah itu ke keranjang sampah. Dan untuk selanjutnya  saya tak ingin pembaca menanggapi bahwa redaktur fiksi Majalah Gaya tak becus menilai sebuah cerpen. Memang Bob Brandon sudah cukup punya nama. Tapi itu bukan jaminan bahwa karyanua selalu bermutu.