"Tapi sayang sekali...." Felicia menggeleng perlahan. "Setelah saya mengirim surat sebagai tanggapan atas cerpennya itu, yang saya dapatkan sebagai balasannya adalah berita duka cita yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Rupanya ia telah meninggal dunia beberapa waktu yang lalu. Sungguh, saya tidak tahu itu."Â
Mendadak wajah Felicia dilupti kabut. Di sana, di sepasang bola mata bening itu, saya lihat ada yang mau menetes keluar.
"Saya sudah tahu itu," kata saya. Â Dan kami merasa kehilangan seorang pengarang yang cukup kreatif.
Gadis itu merunduk. "Saya mencintainya. Mungkin cuma jarak yang membuat kami tak mengerti perasaan masing-masing."
Saya merasa iba. Saya tak sanggup berkata-kata. Saya hanya mendengarkan gadis itu bercerita, mengungkapkan segenap perasaannya.
"Saya pernah bermimpi," lanjut Felicia. "Mimpi yang sangat buruk. Saya melihat Bob Brandon ditabrak sebuah mobil ketika pulang dari Kantor Pos. ia baru saja mengirim cerpen. Apa benar demikian?"
"Ya, ia meninggal akibat kecelakaan."
"Kasihan sekali." Gadis itu terisak. "Ternyata mimpi saya itu benar-benar terjadi."
Dan saya hanya sanggup menguatkan hatinya dengan kata-kata. Menghibur. Dan menganjurkan gadis itu agar tabah menghadapi cobaan.
Gadis itu menegakkan kepala. Ia sudah tenang kembali. Lalu ia berkata, "Lewat mimpi itu ia meminta saya menemui kakak, dan mengambil honor tulisannya. Ia ingin menyumbangkannya buat panti Asuhan."
Ketika saya mengajak gadis itu ke Mbak Nina. Bagian Tata Usaha, ia menolak menerima uangnya. "Sebaliknya redaksi saja yang langsung menyalurkannya."
Saya ragu sejenak. Kemudian saya mengangguk. Kini saya baru bisa mengerti apa sebenarnya buntut dari semua keanehan yang saya alami. Dan juga dialami Mas Isman. Ditambah cerita Felicia barusan. Secara logika saya sulit mempercayainya.