"Kamu doronglah!" ketusnya. Di situ predikat gadis manis buat Andi Nilam agak pudar di mata saya.
"Bantulah mendorong motor ini, Nilam!"Â tukas saya.
Gadis itu nampak enggan membantu mendorong. Walau akhirnya dia mendorong juga. "Kenapa tak diperiksa dulu bensinnya baru kita jalan tadi," gerutunya.
"Yah, mana kutahu bensinnya sisa sedikit. Ini kan motor tua," kilah saya. Namun, saya juga nampak iba namun lucu melihat gadis manis mendorong sepeda motor di situasi seperti itu.
Mungkin hampir sejam kami menyusuri jalan raya yang sesekali dilintasi mobil, sambil mendorong motor, hingga akhirnya kami menemukan rumah panggung khas Bugis.
Di pekarangan rumah itu, ada gardu kecil tempat menjual bensin botolan.
"Alhamdulillah," ucap saya bersyukur. Dan gadis di belakang saya melepaskan dorongannya lalu berdiri kelelahan.
"Tuh, ada bensin dijual!" ujar Andi Nilam kemudian.
Saya hanya mengangguk. Belum lagi saya standar motor dengan baik, datanglah lelaki agak tua, pemilik rumah, dan langsung menawarkan bensin botol jualannya.
"Berapa sebotol bensinnya, Bapak?" tanya saya langsung.
"Seribu, Ndik,"jawabnya dalam logat Bugis yang kental. Ia lalu menarik sebotol benain beserta corong plastik yang sudah nampak tua.