SERANG KOTA---Sebuah pemandangan tak biasa berdiri kokoh gapura bertuliskan aksara Tiongkok “Kota Industri Xia, Shang, dan Zhou” (夏商周工业城市)" di tengah hiruk pikuk proyek mega industri di Sawah Luhur, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Banten. Sebuah gapura besar dengan aksara Tiongkok mencolok menyambut siapa saja yang melintas. Proyek yang digadang-gadang berafiliasi dengan Agung Sedayu Group ini seolah menjadi manifestasi dari narasi sejarah dan ambisi ekonomi Tiongkok yang merambah hingga ke jantung Provinsi Banten.
Gapura itu bukan sekadar penanda lokasi, melainkan sebuah artefak bahasa yang sarat makna. Ia mengumumkan kehadiran "Kota Industri Xia, Shang, dan Zhou" (red). Bagi mata awam, nama ini mungkin terdengar eksotis. Namun, bagi mereka yang akrab dengan sejarah Tiongkok, nama ini adalah deklarasi ambisi yang luar biasa. Ia merujuk pada tiga dinasti pertama yang meletakkan fondasi peradaban Tiongkok, sebuah periode yang secara kolektif dikenal sebagai San Dai.
Menariknya, pemasangan gapura ini bertepatan menjelang Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia. Meskipun sempat viral dan menuai sorotan, pengelola proyek menginformasikan bahwa tulisan aksara Tiongkok tersebut bersifat sementara dan akan diganti dengan Bahasa Indonesia setelah bulan Agustus.
Proyek ini memang terbilang masif, dengan luas lahan mencapai 242 hektare yang akan dirancang sebagai kawasan industri terintegrasi. Truk-truk pengangkut tanah hilir mudik beroperasi siang malam, meratakan lahan yang konon akan menampung lima pabrik, yakni pabrik sepatu, boneka, sepeda listrik, spandek, dan kosmetik.
Membedah Nama Penuh Sejarah: Narasi Tiga Dinasti Tiongkok di Tanah Banten
Penggunaan nama Xia, Shang, dan Zhou bukanlah kebetulan. Ini adalah pilihan strategis yang bertujuan untuk memancarkan aura historisitas, keagungan, dan keabadian. Dengan mengasosiasikan diri pada tiga dinasti awal, proyek ini seolah ingin menegaskan bahwa ia bukan sekadar pembangunan komersial biasa, melainkan sebuah proyek yang dibangun untuk bertahan lama, kokoh, dan fundamental.
1. Dinasti Xia: Titik Awal Mitos dan Sejarah Dalam konteks modern
Penggunaan nama "Xia" bisa diinterpretasikan sebagai klaim atas posisi awal, sebuah proyek pionir. Proyek ini diposisikan sebagai fondasi, titik nol, dari sebuah "kota industri" yang diharapkan akan berkembang pesat. Sebagaimana Dinasti Xia (sekitar 2070--1600 SM) yang dianggap sebagai dinasti pertama Tiongkok, proyek ini juga ingin menjadi inisiatif yang pertama dan terpenting.
2. Dinasti Shang: Kemajuan Perunggu dan Lahirnya Aksara
Memasukkan nama "Shang" (sekitar 1600--1046 SM) ke dalam sebuah proyek industri membawa konotasi kemajuan dan inovasi. Dinasti ini adalah simbol dari peradaban yang berteknologi maju pada masanya, ditandai dengan penggunaan perunggu dan pengembangan sistem penulisan aksara. Dengan menyebut "Kota Industri Shang," pengembang secara tersirat mengklaim bahwa proyek mereka akan menjadi pusat teknologi dan perkembangan, setara dengan peran Dinasti Shang dalam sejarah Tiongkok kuno.
3. Dinasti Zhou: Masa Keemasan Filosofi dan Sistem Politik
Nama "Zhou" (sekitar 1046--256 SM) pada proyek ini tidak hanya mewakili umur panjang, tetapi juga kebijaksanaan, filosofi, dan tatanan. Dinasti terlama yang berkuasa di Tiongkok ini adalah era di mana para pemikir besar seperti Konfusius dan Laozi hidup. Nama ini menunjukkan bahwa "kota industri" yang dibangun tidak hanya fokus pada materi dan ekonomi, tetapi juga memiliki fondasi sistemik yang kuat dan nilai-nilai yang mendalam.
Ekosistem Investasi Tiongkok dan Relevansi dengan BRI
Di balik nama yang monumental itu, terdapat entitas bisnis yang terorganisir, dikelola oleh dua perusahaan: PT Jaya Dynasty Indonesia dan Xia Shang Zhou Industrial City. Informasi mendetail mengenai proyek ini tidak disebarkan secara sembarangan, melainkan terpusat pada platform khusus yang dikenal sebagai Indonesia Business Guide (). Situs web ini secara eksplisit menyatakan tujuannya: menyediakan informasi pasar terbaru, tren teknologi, hukum, dan regulasi bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia yang dimiliki oleh orang Tiongkok.
Keberadaan platform semacam ini menunjukkan adanya sebuah kerangka kerja terstruktur untuk memfasilitasi dan mengarahkan investasi Tiongkok di Indonesia. Ini adalah manifestasi nyata dari strategi ekonomi yang lebih besar, di mana Tiongkok secara proaktif membangun jaringan dan ekosistem pendukung untuk memperkuat posisinya di pasar global.
Secara tidak langsung, proyek ini dan platform pendukungnya dapat dilihat sebagai bagian dari Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative, BRI) yang dicanangkan Tiongkok. Meskipun tidak disebutkan secara gamblang, proyek-proyek infrastruktur dan kawasan industri yang masif di luar negeri sering kali merupakan bagian dari BRI---strategi yang mengintegrasikan pembangunan ekonomi dengan pengaruh geopolitik.
Dampak Lokal dan Dinamika Investasi yang Lebih Luas
Proyek Kota Industri Xia, Shang, dan Zhou, dengan skala dan ambisinya, membawa implikasi yang signifikan bagi Serang dan sekitarnya. Di satu sisi, kehadiran proyek ini menjanjikan lonjakan aktivitas ekonomi dan penciptaan ribuan lapangan pekerjaan. Namun, di sisi lain, proyek semacam ini juga memicu pertanyaan yang umum menyertai investasi skala besar dari luar negeri. Akuisisi lahan dalam skala masif dapat memengaruhi struktur sosial dan ekonomi masyarakat sekitar. Isu-isu seperti tenaga kerja asing, transfer teknologi, dan dampak lingkungan menjadi perdebatan yang terus bergulir.
Sejauh mana proyek ini akan memberdayakan tenaga kerja lokal? Bagaimana dampak lingkungan dari operasional pabrik-pabrik di dalamnya? Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk dijawab guna memastikan bahwa investasi ini benar-benar membawa manfaat berkelanjutan bagi Indonesia, tidak hanya bagi investor.
Proyek di Serang ini bukanlah kasus tunggal. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menjadi tujuan utama bagi investasi Tiongkok, seperti proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dan kompleks industri nikel di Morowali, Sulawesi Tengah. Setiap proyek ini menjadi studi kasus tentang dinamika yang kompleks antara dua negara. Di satu sisi, Indonesia membutuhkan modal dan teknologi untuk mempercepat pembangunannya. Di sisi lain, Tiongkok mencari pasar, sumber daya, dan peluang untuk memperluas pengaruh ekonominya.
Singkatnya, gapura di Serang adalah metafora dari sebuah narasi yang lebih besar---narasi tentang ambisi, sejarah, dan geopolitik. Ia bukan hanya gerbang fisik, melainkan sebuah penanda di lanskap ekonomi Indonesia, menandai era baru dari interaksi dan dinamika yang rumit antara dua negara. Begitu kira-kira.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI