Mohon tunggu...
Zainal Abidin
Zainal Abidin Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Menyukai segala apa yang disebut kesederhanaan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Memetik Hikmah Pertama: Ngaji Bersama Al-Hikam Athaillah al Sakandari

13 Maret 2015   10:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:43 6723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Zainal Abidinzay.abidin@gmail.com

PendahuluanKitab Al-Hikam merupakan kitab magnum opus karya Athaillah al Sakandari. Sebuah kitab aforisma yang luar biasa. Beliau pergi bertemu dengan Sang Pencipta pada tahun 709 Hijriyah. Beliau dimakamkan di bukit Muqattam, Kaherah. Makamnya dikenal dan diziarahi sampai hari ini. Pada makamnya terdapat Nur yang hanya Allah yang mengetahuinya. Ibnu Athaillah menuntut ilmu di bawah asuhan Sayyid Al Mursi Abu Abbas, beliau dimakamkan di Iskandariah. Al Mursi Abu Abbas merupakan salah seorang murid dari Abu Hasan As-Syazili. Semoga Allah merahmati mereka semua. Abu Hasan meninggal dunia ketika beliau pergi mengerjakan haji, dan dikebumikan di padang pasir, di sebuah tempat yang bernama Humaisira, dekat dengan pesisir pantai laut merah dan berhadapan dengan Badar Qina, di perkampungan Mesir.

Ibnu Athaillah mengarang banyak kitab, tetapi di antara terbaik yang ditinggalkan beliau untuk kita adalah yang dikenal dengan “Al-Hikam Al-Athaillah”. Al-Hikam Athaillah, himpunan nasehat-nasehat, koleksi yang diringkaskan oleh beliau berdasarkan pengalaman beliau dalam suluk (proses peningkatan spiritual dan keimanan dari satu tahap ke tahap seterusnya) sebagai proses berjalan menuju Allah SWT. Oleh karena itu di dalamnya (kitab Hikam) terdapat nilai akhlak yang tinggi, halus dan tinggi yang membersihkan hati dari segala kotoran. Di dalamnya terdapat amalan-amalan hati. Di dalamnya ada keikhlasan. Di dalamnya terdapat penyucian. Di dalamnya terdapat penyembuhan kepada akhlak.

Kebanyakan orang hari ini, amat memerlukan pengetahuan berkaitan dengan kaidah penyembuhan dari spiritual untuk manusia dan bagaimana cara untuk mencapai pengetahuan ini. Bagaimana seseorang itu hendak suluk menuju Allah SWT. Barangkali ketika seseorang membaca Al-Qur’an tetapi tidak merasakan kelezatan bacaan ini di dalam hatinya. Bacaan ini tidak mengguncang hatinya, dan bertanya-tanya apa penyebabnya, sebab hal ini terjadi karena ia tidak memulai pada bagian penyucian hati sehingga hati itu mampu berinteraksi dan merasakan apabila menyebut nama Allah dan membaca Al-Qur’an.

Al-Hikam Athaillah, cara menuju kepala jalan ini, yaitu suluk menuju kepada Allah. Al-Hikam Athaillah terdiri dari 264 hikmah. Semoga Allah membantu kita dalam memahami Al-Hikam ini dan menjelaskan bagaimana ia dan bagaimana kita mengubah hikam tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Bersama Al-Hikam kita lalui keseharian hidup kita yang penuh berkah dan kita mencoba memahaminya dan menjelaskan bagaimana ia dalam agama Allah dan bagaimana ia menyelesaiakan masalah hubungan manusia dengan Allah.



Hadits JibrilBerikut ini sebagai penjelasan padahadits Jibrilyang diriwayatkan Muslim dalam shahihnya,dari Abdullah bin Umar Khattab dari ayahnya Umar bin Al-Khattab RA, semoga Allah meridloi keduanya. Berkata Umar, “Ketika kami duduk bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, masuk seorang lelaki berbaju teramat putih, rambut yang teramat hitam, tiada seorang pun dari kami yang mengenalinya dan tidak ada padanya tanda musafir. Dia duduk bersama Nabi SAW, meletakkan lutut bersentuh lutut Nabi, kedua tangannya di atas pahanya. Ia duduk dengan penuh adab, duduk penuntut ilmu yang ingin belajar ilmu dari Penghulu segala makhluk, Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Dia bertanya tentang Islam, bertanya tentang iman dan bertanya tentang ihsan”. Nabi SAW menjawabnya dalam hadits yang panjang dan sangat dikenal itu. Setelah lelaki itu pergi Nabi bertanya, “Apakah kalian tahu siapakah ia?”. “Itulah Jibril yang mengajarkan kamu urusan agama kamu”.

Selengkapnya hadits Jibril tersebut yaitu,



Dari Umar radhiallahuanhu dia berkata: Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) seraya berkata: “Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?”, maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam : “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu“, kemudian dia berkata: “Anda benar“. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang  membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “Beritahukan aku tentang Iman“. Lalu beliau bersabda: “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk“, kemudian dia berkata: “Anda benar“.  Kemudian dia berkata lagi: “Beritahukan aku tentang ihsan“. Lalu beliau bersabda: “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau”. Kemudian dia berkata: “ Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya“. Dia berkata:  “Beritahukan aku tentang tanda-tandanya “, beliau bersabda:  “Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya“, kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya: “Tahukah engkau siapa yang bertanya ?”. aku berkata: “ Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui “. Beliau bersabda: “Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian“. (RiwOleh karena itu semua ibadah yang kamu kerjakan senantiasa diperhatikan, maka kamu akan mampu hadirkan perasaan, sebagaimana kata Imam Nawawi, segala khusyuk, khudu’ dan adab, tidak mungkin kamu membayangkan dirimu di hadapan Allah SWT seolah-olah kamu melihatnya dan terlintas di pikiranmu maksiat, pemikiran melayang-layang, tidak akan terlintas apa yang seumpama ini. Dari itu ulama mengambil peranan memelihara satu sudut dari Islam, dengan mengarang fiqh secara keseluruhan, yang mana fiqh mempunyai1 .200.000 cabang fiqh, yang membantu kepada Islam. Ibadah, muamalah, perundang-undangan, persaksian, hubungan antar bangsa, kemasyarakatan dan ekonomi. Fiqh membantu Islam dalam hal ini.

UlamaTauhid berperan membantu pada sudut lain juga, yaitu iman. Ulama Akhlak dan Tasawuf membantu maqam Ihsan. Hikam Athaillah termasuk dalam kategori ihsan. Pecahan ini, yaitu Islam, Iman dan Ihsan untuk memudahkan kepahaman. Hakikatnya Insan itu satu, Iman juga satu. Dari semua itu kita terkait dengan uraian awal kita.



Hikmah Pertama Al-HikamHikmah yang pertama yang ditulis untuk membantu kepada suluk membantu mancapai ihsan, Sayidina Ibnu Athaillah al Sakandari berkata:



Termasuk tanda pengandalan pada amal ialah berkurangnya harapan ketika ada kesalahan. (Among the signs of depending on actionsislosing hope in presence of a slip.)

Seorang insan selayaknya terlepas diri dari amalannya dan jangan bergantung harap padanya. Dan hendaknya ia ketahui setiap apa yang ada di alam ini adalah dari Allah. Ucapan yang sangat halus, bayangkan Anda memperhatikan diri anda sendiri. Jika Anda melakukan ketaatan jangan terpedaya dengannya, jangan bermegah dengan saudara anda yang lain. Jangan memandang mereka dengan pandangan hina, mereka itu ahli maksiat, mereka itu lebih rendah dari anda. Ini adalah kibir yang tidak diterima di sisi Allah.

Bayangkan, engkau senantiasa menyebutTuhanmu, oleh karena itu setiap engkau terjebak melakukan maksiat, tidak kurang sedikit pun harapanmu kepada rahmah Allah SWT. Bertaubat kepadaNya segera karena Allah senantiasa di hatimu dan kembali kepada Allah dengan segera dari segala kepincangan maksiat yang engkau lakukan. Kembali ke awal, seolah-olah engkau tidak melakukan maksiat apa-apa. Kesan dari itu, engakau berada dalam keadaan tanpa dosa dalam waktu yang sangat panjang karena engkau telah membersihkan catatan amalanmu dan catatan amalan menjadi putih bersih.

Ucapan ini secara nyata ditujukan kepada manusia yang mencapai tahap tinggi dalam suluk. Oleh karena itu permulaan Hikamini diawali dengan ucapan yang teguh. Rahasianya adalah untuk menarik manusia kepada ucapan ini.

Ucapan ini mungkin tidak sesuai sebagian orang yang baru memulai suluk dan tidak sesuai untuk orang yang masih baru, sepatutnya mereka merasa besar dengan dosa yang mereka lakukan dan menjauhkan diri darinya, lebih-lebih pada zaman fitnah yang kita hidup sekarang ini. Akan tetapi apabila Ibnu Athaillah memulai dengan sesuatu yang teguh, maka ia akan senantiasa teguh walaupun bersama mereka yang baru suluk atau di pertengahan atau di akhir jalan suluk. Jangan bergantung pada amal-amal! Sehingga Allah ridlo kepada kita.



Bagaimana aku tahu bahwa aku bergantung pada amalku? Aku gembira bila ada ketaatan? Aku hilang harapan (raja’) bila ada maksiat? Tetapi beliau ingin mendidik kita, ketaatan ini adalah disebabkan taufiq Allah. Taufiq adalah Allah menjadikan perbuatan hambanya sesuai dengan apa yang disukai dan dicintaiNya (Kitab Ta’rif karya Al-Jurjani). Dan, maksiat adalah ketetapan Allah. Dengan itu semestinya, kita beriman bahwa tiada upaya dan kekuatan kecuali dengan Allah. Nabi SAW bersabda: Tiada upaya dan kekuatan kecuali dengan Allah (La Haula wa la Quwwata illa billah ) merupakan khazanah di antara khazanah Arsy.

Nabi SAW bersabda, "Maukah aku tunjukkan kepadamu sebuah kalimat dari bawah Arsy yang merupakan harta simpanan surga, hendaknya kamu mengucapkan,“La Haula wa la Quwwata illa billah”, maka Allah akan berkata, “Hambaku telah selamat dan patuh”. (HR. Hakim dari Abu Hurairah RA)

Mereka yang mengamati Al-Hikam Ibn Athaillah al Sakandari akan mendapatkan seolah-olah beliau mensyarahkan pada dirinya hadits Nabi SAW ini. Beliau mensyarahkan kenapa tidak ada upaya dan kekuatan kecuali dengan Allah. Bagimana dari segi pelaksanaan melakukan amal, melakukan maksiat, ketika bertaubat,ketika berpegang pada sebab, ketika mengasingkan diri dari orang ramai, ketika bersama orang ramai, ketika melalui kehidupan sehari-hari, senantiasa dijadikan kebiasaan, tabiat, dan pada setiap perkara, yaitu tiada upaya dan kekuatan kecuali dengan Allah. Beliau mensyarahkan perkara ini dalam gambaran yang sangat jelas dalam semua hikmahnya.

Di sini beliau menyebutkan hakikat yang Nabi SAW sebutkan pada kita, yaitu tiada seorang pun darimu yang akan masuk syurga dengan amalnya. Sahabat bertanya: Apakah engkau juga demikian wahai Rasulullah? Nabi bersabda: Aku pun begitu, hanya saja Allah melimpahkan kepadaku rahmatNya.

Hadits ini menjelaskan bahwa tidak ada seorang pun masuk syurga karena amalnya tetapi hakikatnya dengan karunia Allah SWT. Jangan sekali-kali kita bergantung pada amal. Dari itu, jika Allah takdirkan pada kita melakukan maksiat sepatutnya kita dalam keadaan benar-benar sadar (jangan lalai) dan kita perlu meninggalkan maksiat itu dan bertaubat dan melupakan setelah itu dan berazam tidak akan mengulanginya lagi. Akan tetapi kita tidak akan hilang perasaan raja’ sama sekali kepada Pemilik kita walaupun banyak maksiat yang dilakukan. Walaupun dicatatkan segala maksiat dunia kepadaku, sesungguhnya Allah menerima keislaman dari orang musyrik dan menjadikan generasi yang hebat yang pernah diketahui manusia. Allah menjadikan mereka pendahwah yang mendapat petunjuk dan memberi petunjuk hingga Hari Kiamat. Sayidina Umar, Sayidina Utsman termasuk segelintir musyrikin pada masa dulu menyembah berhala. Akan tetapi mereka menjadi sebaik-baik manusia dan menjadi setinggi-tinggi kedudukan di anatara manusia. Sunan Kalijaga adalah satu wali sembilan yang pada masa mudanya merupakan masa kegelapan sebelum bertemu dan berguru pada Sunan Bonang.

Jangan hilang perasaan raja’ pada Tuhanmu sama sekali hanya disebabkan beberapa maksiat yang telah engkau lalukan. Jika hilang raja’ maka engkau telah menggantungkan pada amalmu seolah-olah amalmu yang akan memasukkanmu ke dalam syurga. Karunia Allah dan hidayahNya yang memasukkanmu ke dalam syurga karena tiada upaya dan kekuatan kecuali dengan Allah. Tiada kekuatan pada engkau, wahai si lemah dan sengsara. Oleh karena itu Al-Hikam menegaskan, jangan bergantung sama sekali pada amal kita karena bergantung pada amal merupakan puncak musibah, yaitu kibir. Nabi SAW bersabda: “Tidak masuk syurga, siapa yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi (zarrah) kibir”

Tahukah Anda sebutir biji sawi itu? Ali Jum’ah mengatakan sebesar seperenam ribu gram. Jika dalam diri manusia terdapat 1 dari 6000 per 1 gram kibir ini menghalanginya masuk ke dalam syurga. Bagaimana pula jika terpatri kokoh kibir itu di dalam hati. Ini penyakitdi antara penyakit-penyakit hati yang kronis. Oleh karena itu, beliau memulai Hikam-nya dengan hal ini: Jangan bergantung dengan amal, apabila kita bergantung pada amal maka tidak hilang harapan (raja’) kitajika kita ditimpa kepincangan (maksiat). Kita akan mengatakan segala urusan itu di tangan Allah. Tiada upaya dan kekuatan kecuali dengan Allah. Aku lemah (dhoif),ya Allah ampunilah dosaku. Ya Allah, rahmatilah aku. Aku menangis, tunduk dan khusuk kepada Tuhan semesta alam. Maka lembaran raja’ itu luas. Oleh karena itu bergantung kepada amal sebagaimana ia membawa kepada kibir, ia juga membawa kepada hilangnya sifat pengharapan (raja’). Hikmah ini hikmah yang cukup fasih yang mesti diulang-ulang, menghapfalnya dan mengamatinya kembali secara khusus apabila kita ditimpa dengan dosa kesalahan dari segala dosa. Terjadi dosa yang kemarin, tidak boleh tidak disertai taubat ada hari ini.

Marilah kita bersama-sama memulai lembaran baru kepada “tidak berputus asa pada rahmat Allah”. Ke arah tidak hilang perasaan raja’, banyak orang yang apabila berbicara hal itu dan katakan engkau senantiasa melakukan dosa. Dia menjawab: Aku masuk neraka! aku masuk neraka! Ini hilang perasaan raja’. Ini hakikatnya dia bergantung pada amal. Apabila tidak ada amal shaleh, menjadi seorang yang takabur. Bersama dengan takabur ini, hilangnya keinginan bertaubat. Oleh karena itu hikmah ini membawa kita senantiasa dan selamanya bertaubat kepada Allah SWT.

Firman Allah SWT:

(yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baikoleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): "Salaamun'alaikum, masuklah kamu ke dalam syurga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan." (an-Nahl: 32)

Masuklah ke syurga dengan amal yang kamu lakukan. Amal tidak akan diterima, sebagaimana dikatakan oleh Fudail Ibn Iyad, kecuali dengan ikhlas dan benar. Diterima amal tersebut adalah semata-mata karunia dari Allah. Oleh karena itu, maksud ayat “dengan amal yang kamu lakukan” adalah dengan karunia Allah. Seolah-olah ayat mempunyai maksud tersembunyi dengan kurnia Allah. Amal yang Allah memberi taufiq melakukannya, kita tidak akan sombong (kibir/takabur) kepada siapapun.

Penutup

Tidaklah mudah melepaskan diri dari keterkaitan hati pada apa yang kita kerjakan. Kita bahkan sering memenuhi pikiran dan perasaan kita dengannya. Bukan hanya pada saat mengerjakan, tetapi terlebih sesudahnya. Tentu ini karena kita ingin semprna melewati semua proses kerja (amal) hingga akhir. Akhirnya, tanpa kita sadari, kita lupa menempatkan Allah dengan perbuatan dan tindakan kita.

Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? (Tidak), maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia. (QS. An Najm: 24-25)

Padahal, kitamestinya “melibatkan”-Nya sejak awal agar apapun hasilnya tidak mengubah kedudukan kita di sisiNya. Maka, bekerja keraslah sembari tetap beribadah. Beribadahlah dengan benar dan ikhlas maka bekerja pun menjadi lepas. Bila tergoda, senantiasalah luruskan niat.

Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa." Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh (melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik dengan sangat keras) dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya." (QS Al Kahfi: 110)

Bekerja keras disertai pengaharapan mendapat kasih sayang Allah secara terus-menerus akan menjaga diri kita pada kesombongan.

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Hadid: 28)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun