***
Sampai akhirnya aku belajar menerima keadaanku. Aku akhirnya melanjutkan kuliahku di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta.Â
Alhamdulillah aku lulus juga. Meski agak lama. Tapi aku cukup senang. Ini sebagai obat bagi aku sendiri.
"Aku akan mengabdi di SLB tempat aku belajar, mak", kataku kepada mamakku.
Dengan restu dari orangtua dan ijin dari guru-guru SLB tersebut, akhirnya aku mengabdi menjadi guru bagi anak tunanetra. Akhirnya berguna juga ilmu belajar braille-ku untuk anak-anak usia sekolah.
Aku sering diajak guru yang mengampu kesenian elektone untuk mengisi hajatan. Beliau pak Wur. Kegiatan ini juga sekalian sebagai ajang sosialisasi kepada kaum seperti aku. Bahwa seorang tunenetra bisa menjadi guru. Bahkan alhamdulillah tahun 2009, aku menerima SK CPNS.Â
Hal itu sering dilakukan agar orangtua yang memiliki anak seperti aku juga mau menyekolahkan anaknya di SLB. Dan jika IQ bagus dapat melanjutkan kuliah dab meraih cita-cita.
"Iki duit pira, Sun", tanya pak Wur sambil menyerahkan uang kertas ketika di atas panggung.
"Iki seket ewu", jawabku asal.
Apakah jawabanku benar? Tentu saja tidak.
Ini hanya gurauan kami, untuk meyakinkan bahwa aku benar-benar tunanetra. Bagi orang yang mendatangi hajatan dapat tertawa dengan gurauan kami.
#inspirasi dari kisah nyata teman saya