Namaku Sun. Aku adalah seorang guru tunanetra di salah satu SLB di Kabupaten Gunungkidul. Aku menjadi tunanetra karena kecelakaan.
Waktu masih bersekolah jenjang SMA, aku ikut menambal ban motor. Ketika itu tak ada yang menyangka hari itu adalah hari terakhirku dapat melihat dunia ini. Aku terkena letusan ban yang sedang ku pompa setelah ku tambal. Tentu saja darah banyak sekali. Wajahku sudah tidak dikenali lagi.
Kisah pahitku harus berlanjut di rumah sakit di Yogyakarta. Dokter lebih berupaya menyelamatkan aku waktu itu. Antara hidup dan mati kalau kata orang.
Orangtuaku juga berupaya bagaimana caranya agar aku dapat kembali melihat. Mereka ingin mendonorkan matanya untukku. Demi anaknya.
Tapi, ternyata hal itu mustahil dilakukan. Karena sudah tidak mungkin dilakukan operasi mata. Mataku benar-benar rusak.Â
***
Hari-hari berat ku lalui. Aku dengan segala ambisi mudaku, ingin tetap melihat. Mungkin seperti frustasi aku kalau dilihat.
"Sekolah saja di SLB, Sun..", kata seorang guru SLB yang datang ke rumahku. Beliau bernama Narta.
Aku hanya diam. Tak pernah terbayangkan sebelumnya jika aku harus sekolah di SLB. Mau belajar apa coba.
Dengan segala bujuk rayunya kepadaku dan kepada orangtuaku maka akhirnya aku bersekolah di SLB. Ya, aku belajar ilmu yang bernama menulis dan membaca braille serta OM. Orientasi mobilitas.
O iya, saat itu aku tetap menganggap aku ini seprang awas terus. Berjalan seolah masih awas. Sering terbentur tentu saja. Intinya aku belum menerima keadaanku yang menjadi buta.