Mohon tunggu...
zahro
zahro Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Menyambut Riyaya di Jawa

7 Juli 2023   20:58 Diperbarui: 7 Juli 2023   21:05 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Masyarakat Indonesia sudah sepatutnya menjalankan dengan baik agama yang dianut, dikarenakan Indonesia adalah negara yang beragama. Indonesia didominasi oleh pemeluk agama Islam yang tersebar di berbagai pulau Indonesia, salah satunya adalah pulau Jawa. Sekitar 90% masyarakat Jawa adalah pemeluk Islam, hal ini mengakibatkan munculnya berbagai pandangan dalam masyarakat Jawa, berbagai hal -- hal seperti pelaksanaan tradisi, pelaksanaan ibadah, dan lain lain. Tidak dapat dipungkiri juga, masyarakat muslim Jawa terbagi dalam berbagai kelompok dan golongan. 

Menurut Geertz dalam buku The Religion of Java, Ia mengklasifikasikan sebanyak tiga golongan masyarakat Jawa, yaitu : abangan, santri dan priyayi. Ketiga golongan tersebut dibagi berdasarkan penelitiannya di desa kecil bernama Mojokuto. 

Ketiga golongan ini bukan semata -- mata diciptakan Geertz, melainkan fenomena ini sudah ada sejak agama dan kebudayaan Jawa hadir. Trikotonomi yang diciptakan Geertz berpengaruh besar di dunia, khususnya masyarakat Jawa itu sendiri, mereka semakin sadar akan keragamannya di Jawa. Geertz mengklasifikasikan ketiga golongan tersebut dalam stratifikasi sosial yang berbeda, abangan ( desa), santri (pasar), dan priyayi ( kota). 

Abangan merupakan golongan masyarakat islam Jawa yang bermukim di desa, mereka adalah muslim, akan tetapi tidak mejalankan Islam sesuai syariat-Nya. Biasanya abangan diklasifikasikan di pendesaan, dikarenakan kebanyakan abangan bekerja sebagai petani di desa. Kebalikan dari abangan, santri merupakan golongan masyarakat islam Jawa yang bermukim di pasar, dan menjalankan syariat Islam dengan sungguh -- sungguh dan menyeluruh. Golongan ini terdapat di pasar, karena golongan santri biasanya berdagang di pasar, dan Islam pun dating dari para pedagang. 

Golongan terakhir yaitu priyayi. Menurut Bachtiar , Pada dasarnya priyayi itu tidak bisa diklasifikasikan bersama abangan dan santri, karena pergolongan priyayi adalah golongan sosial. Sedangkan abangan dan santri adalah pergolongan yang dibuat menurut tingkat ketaatan menjalankan ibadah agama Islam. Priyayi merupakan sebutan bagi orang -- orang aristoraksi, elit pegawai ini terletak pada keraton Hindu-Budha sebelum masa kolonial, memelihara etiket yang alus, mereka mempercayai konsep "lahir dan batin" "alus dan kasar". 

Abangan, santri, dan priyayi mempunyai pandangan yang berbeda dalam menyambut serta melaksanakan hari besar Islam, salah satunya adalah Riyaya atau hari besar setelah puasa. Riyaya bukan hanya untuk hari raya santri, melainkan semua agama dan kepercayaan dapat merayakan riyaya, maka dari itu riyaya merupakah perayaan yang menyatukan kepercayaan dan praktik keagamaan di Jawa. Walaupun Riyaya adalah hari raya yang nasionalis, tidak dapat dipungkiri juga perbedaan -- perbedaan dalam menyambut dan melaksanakan Riyaya sungguh terlihat. Mulai dari slametan, menghidangkan makanan, dan penanggalan dalam menentukan Riyaya. Ritual pokok Riyaya adalah permintaan maaf dari individu, seseorang yang diatur dengan pola perbedaan status, status yang lebih rendah akan meminta maaf kepada status yang lebih tinggi. Status yang lebih rendah akan mendatangi rumah si status lebih tinggi daripadanya, akan dijamu dengan makanan -- makanan dan minuman -- minuman. Karena status ini sifatnya relatif, ritual ini dilaksanakan dalam beberapa hari, karena seseorang yang merasa statusnya lebih tinggi, akan menetap dan menunggu di rumah terlebih dahulu, baru ia akan mengunjungi rumah seseorang yang statusnya jauh lebih tinggi. 

Golongan abangan akan melakukan slametan untuk menyambut Riyaya, siklus slametan nya berbeda dengan slametan kelahiran,kematian, perkawinan, dan lain -- lain. Slametan Riyaya diadakan malam ganjil di minggu terakhir bulan puasa di malam selikuran dan malam sangalikuran . Berbeda dengan Seorang priyayi tinggi, biasanya akan menghidangkan sejenis minuman bir yang mereka sebut ritual halal bihalal di rumahnya sambal menunggu tamu dari status yang dibawahnya. Dan golongan santri dalam menyambut riyaya akan membagikan zakat fitrah kepada masyarakat miskin, pembagian zakat fitrah tetap dinaungi oleh organisasi -- organisasi Islam di Jawa.

 Di dalam setiap sisi kehidupan, akan selalu ada perbedaan, begitu juga ketiga golongan ini berbeda dalam menentukan tanggal penentuan Riyaya. Dalam buku The Religion of java, golongan santri modernis dan konservatif (Muhammadiyah dan NU) berbeda dan hati -- hati dalam menentukan tanggal Riyaya. Biasanya dalam menentukan 1 Syawal, menggunakan metode hisab dan ruqyat, hisab merupakan perhitungsn secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan, sedangkan rukyat asalah penampakan bulan sabit untuk pertama kalinya setelah terjadinya ijtima'. Muhammadiyah menggunakan wujudul hilal yaitu, 

Ketika hilal berada di nol derajat bisa dipastikan memasuki bulan baru, wujudul hilal memakai metode hisab. Sedangkan NU menggunakan rukyatul hilal, dimana dilakukan pengamatan bulan secara langsung. Biasanya Muhammadiyah melaksanakan Riyaya satu hari sebelum NU melaksanakannya. Namun, golongan abangan dan priyayi, sangat berbeda dalam menentukan penanggalan Riyaya, mereka menggunakan sistem aboge. Aboge adalah penanggalan hasil akulturasi penanggalan Islam dan penanggalan Jawa. Aboge kepanjangan dari Alif, Rebo, Wage, yang dimaksud tanggal satu muharram tahun Alip akan jatuh pada hari Rebo pasaran Wage. 

Di dalam aboge dalam satu windu, ada tahun Alif, Ha, Jim Awal, Za. Dal, Ba, Wawu, dan Jim Akhir. Dalam kalender aboge, 1 Muharram menjadi acuan untuk menetapkan hari -- hari penting agama. Salah satu contoh, ketika menentukan Riyaya idul fitri. Tahun 2023 bertepatan dengan tahun jawa adalah tahun Ha, berarti 1 Muharram jatuh pada Ahad pon. Dan menggunakan rumus Waljiru, wal berarti Syawal, Ji berarti siji, ro berarti loro. Ini berarti Riyaya dialkulasikan dengan menghitung satu dari hati mingguan dan dua dari hari pasaran pada permulaan tahun, berarti tahun ini syawal jatuh pada hari Ngahad Wage. Akan tetapi, jika jatuhnya satu syawal menurut golongan abangan itu merupakah hari sial, maka mereka akan melaksanakan kunjungan atau permohonan maaf pada hari sebelumnya. Bagi golongan priyayi, mereka tidak percaya takhayul pada hari, maka dari itu mereka tetap melaksanakan riyaya pada hari yang telah ditentukan pada kalender aboge.

 Adanya Riyaya dan segala penyambutannya, ketiga golongan ini menjadi berbaur satu sama lain, walaupun menimbulkan banyak sekali diskusi tajam di Jawa, akan tetapi mereka tetap menjalani peran dan kepercayaan mereka masing -- masing . akan tetapi mereka mempunyai satu asas yang sama, yaitu mereka sama -- sama berasas kebudayaan Jawa, mereka sama - sama tinggal di Jawa, dimana dengan begitu banyaknya umat muslim, tidak bisa dipungkir pasti ada saja perbedaan -- perbedaan dan klasifikasi status. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun