Program MBG (Makan Bergizi Gratis) merupakan program yang diluncurkan oleh kepemerintahan Presiden Prabowo Sugianto pada awal tahun 2025. MBG disediakan untuk siswa sekolah, ibu hamil, dan ibu menyusui. Selain itu, adanya MBG adalah upaya untuk menurunkan angka stunting dan meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia. Disamping itu, program MBG diharapkan dapat menjadi pendukung ekonomi lokal, seperti petani atau UMKM.
Akan tetapi realitanya, program dengan ide yang bertujuan baik ini mesti menghadapi tantangan-tangan di Indonesia. Di beberapa sekolah, program MBG justru menjadi bencana, karena menyebabkan keracunan pada beberapa muridnya. Dilansir dari detiknews, berikut laporan keracunan MBG yang terkonfirmasi:
- Provinsi DKI Jakarta melaporkan terdapat 60 siswa dari 10 sekolah dilaporkan keracunan yang disebabkan karena bakteri berdasarkan temuan dinas kesehatan.
- Kabupaten Sleman (Daerah Istimewa Yogyakarta) melaporkan terdapat 127 siswa dan pada Kabupaten Lebong (Bengkulu) terapat 427 siswa yang mengalami keracunan setelah makan MBG. Pada penelitiannya, ditemukan bakteri E. coli, Clostridium. sp, dan Staphyloccus.
- JPPI mencatatterdapat 10.482 anak mengalami keracunan MBG pada 4 Oktober 2025. Rupanya beberapa dapur MBG masih aktif beroprasi meskipun sudah ada larangan untuk ditutup.Â
- Bahkan dalam rapat Dewan, Kepala BGN menyatakan sejak awal program hingga di bulan September tercatat sebanyak 6.517 orang mengalami keracunan MBG khususnya di Pulau Jawa. Hal ini disebabkan karena laporan faktor SOP yang tidak dotaati.
- Di Sleman dan Lebong, pakar UGM menyebutkan bahwa kasus tersebut merupakan kegagalan sistematik dan pengolahan dan distribusi makanan dan lemahnya pengawasan higenis dallam menyediakan makanan.
Secara lebih detail, mengapa banyak kasus dari adanya program MBG ini? Apa yang sebenarnya menjadi tantangan pengimplementasian MBG di Indonesia?Â
- MBG tidak terlaksana dengan menyeluruh sebab Standar Operasional Prosedur (SOP) yang tidak dipatuhi oleh dapur MBG. Kepala BGN melaporkan bahan baku H-2, tetapi digunakan H-4, maka penyimpanan dan distribusi melebihi batas waktu aman.
- Kurangnya pengawasan dan sertifikat higienis. Dapur SPPG belum memiliki Sertifikat Laik Higienis dan Sanitasi (SLHS). DKI Jakarta sendiri melaporkan bahwa sebanyak 180 dapur SPPG tidak memiliki SLHS.
- Panjangnya waktu antara produksi hingga komsumsi juga menjadi suatu alasan.Â
- Pakar UGM mengatakan bahwa pemerintah terlalu berambisi mengejar cakupan besar dalam waktu yang cukup singkat. Jadi pembangunan banyaknya dapur SPPG tidak memiliki kualitas yang merata.
- Ketidakselarasan antara koordinator dan akuntabilitas, seperti koordinasi dengan pemantauan acap yang terputus. Banyak masyarakat yang berpendapat bahwa jumlah penerima menjadi prioritas dibandingkan dengan keamanan pangan.
- Menurunnya kepercayaan publik merupakan faktor akhir dari tantangan pegimplementasian MBG di Indonesia.
Dari adanya tantangan-tantangan program MBG, dapat disimpulkan, secara konsep MBG (Makan Bergisi Gratis) sudah bagus dan memiliki ide yang mulia, akan tetapi pada praktiknya, masih banyak laporan terkait kurangnya pengimplementasian MBG, bahkan sampai menimbulkan keracunan siswa di sekolah. Jika pemerintah terkait segera membenahi tantangan-tantangan ini, dengan solusi seperti ketersediaan Sertifikasi Higienis dan inspeksi berkala di setiap dapur MBG, melibatkan ahli gizi dalam semua tahap, menegakkan sanksi tegas dan akuntabilitas, dan solusi bijak lainnya, maka MBG masih mempunyai peluang untuk memperbaiki gizi anak Indonesia secara menyeluruh dan berkelanjutan.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI