Dengan begitu, sound horeg menjadi representasi dinamika sosial budaya yang kompleks: sebagai bentuk ekspresi identitas, kritik terhadap struktur budaya utama, dan hasil dari pertemuan budaya lokal dengan global. Ia hadir sebagai simbol perjuangan kelompok marginal untuk meraih ruang dalam narasi budaya utama, sekaligus menantang batas-batas nilai tradisional.
Labeling Theory: Pelabelan Sosial & Stigma
Dalam kerangka Labeling Theory yang dikembangkan oleh Howard Becker,perilaku menyimpang tidak secara objektif melekat pada tindakan itu sendiri. Sebaliknya, hal tersebut muncul dari proses sosial di mana seseorang diberi label tertentu atas tindakannya. Contohnya, saat acara karnaval sound horeg, ketika seorang remaja perempuan mengenakan kebaya dan menari dengan gaya yang dianggap provokatif, masyarakat – khususnya di media sosial – langsung memberi label negatif seperti “tidak pantas” atau “melecehkan budaya.” Label ini tidak hanya muncul dari komentar-komentar warganet, tetapi juga tercermin dalam pemberitaan media yang turun memperkuat persepsi public terhadap tindakan tersebut. Seiring dengan berkembangnya media sosial, proses pelabelan ini mendapatkan kekuatan tambahan, sehingga stigma yang terbentuk bisa melekat secara kolektif dan bertahan dalam jangka panjang. Penelitian mengenai pelabelan sosial dan stigma di era digital menunjukkan bahwa media sosial mempercepat dan menguatkan proses pemberian label, sehingga berpotensi memberikan dampak jangka panjang terhadap identitas dan posisi sosial individu dalam komunitasnya. (Saptari & Gunawan, 2023).
Dampak dari pelabelan ini tidak hanya terbatas pada penilaian sosial semata. Ketika label negatif terus-menerus diberikan, hal itu bisa membentuk identitas baru yang diterima oleh individu sebagai bagian dari dirinya sendiri – sebuah proses yang sering disebut sebagai self-fulfilling prophecy. Misalnya, namun seseorang yang diberi label ‘tidak pantas’ mungkin merasa dijauhkan dari nilai-nilai umum dan akhirnya menginternalisasi label tersebut, bahkan menunjukkan perilaku sesuai dengan ekspektasi negatif masyarakat. Menurut studi Becker, ini dapat menjadi awal dari deviant career, yakni jalur penyimpangan yang berawal dari label yang diberikan oleh lingkungan sosial. Hal ini sejalan dengan temuan Syaifudin (2024) dalam laporan Times Indonesia, yang menyoroti bahwa ekspresi budaya seperti sound horeg sering kali direspons secara represif oleh masyarakat, alih-alih dianggap sebagai bagian dari ekspresi sosial yang lebih kompleks. Akibatnya, bukan hanya tindakan yang disalahkan, tetapi juga identitas orang yang melakukannya, terutama jika mereka berasal dari kelompok sosial marginal seperti remaja pinggiran atau komunitas urban berkelas bawah.
Ruang Publik & Keresahan Komunitas
Fenomena sound horeg yang viral belakangan ini tidak hanya memicu perdebatan seputar ekspresi budaya, tetapi juga menimbulkan konflik nyata di ruang public. Salah satu insiden paling mencolok terjadi di Desa Waturoyo, Kabupaten Pati, pada Agustus 2024. Seorang ibu rumah tangga yang merupakan warga setempat mengajukan keberatan saat menghadiri karnaval karena volume sound system yang terlalu keras, sehingga membuat rumah dan lingkungan di sekitarnya bergetar. Video saat ibu tersebut menyiram truk pengeras suara kemudian viral di media sosial, memancing ribuan komentar dan memperkaya diskusi hangat tentang hak masyarakat untuk menjaga kenyamanan bersama. Persoalan resonansi suara ini tidak hanya mengganggu kenyamanan, tetapi juga berpotensi merusak properti dan mengganggu kesehatan pendengaran warga, bahkan memunculkan ketegangan fisik, ketika beberapa peserta karnaval nyari melakukan pengeroyokan terhadap ibu tersebut.
Peristiwa ini mencerminkan adanya konflik yang mendasar antara hak individu maupun komunitas untuk berekspresi dan kebutuhan masyarakat akan kenyamanan serta keamanan di ruang publik. Jika kita melihat dari sudut pandang teori konflik sosial yang dikembangkan oleh Karl Marx, masyarakat diibaratkan sebagai medan pertarungan antara kelompok yang memiliki akses terhadap kekuasaan dan sumber daya, serta kelompok lain yang mengalami penindasan dan dominasi. Dalam konteks ini, penyelenggara karnaval sebagai pihak yang ingin mengekspresikan diri, memanfaatkan ruang publik untuk menyuarakan identitas mereka dan menghibur masyarakat. Sementara itu, warga sebagai pihak yang terdampak, sering kali merasa tidak memiliki cukup kekuatan untuk menolak atau mengatur intensitas kegiatan tersebut. Pola ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam distribusi ruang, suara, dan pengendalian sosial – di mana suara dari minorirtas cenderung tertutup oleh kekuatan simbolik dan fisik dari mayoritas yang lebih dominan.
Situasi konflik ini memicu respons dari pemerintah daerah melalui langkah-langkah yang memperhatikan kejernihan dan keberlanjutan ruang publik. Pada Mei 2025, polres Pati menerbitkan Maklumat Larangan Sound Horeg, yang secara tegas melarang penggunaan sound system berlebihan selama acara karnaval dan menetapkan sanksi administrative bagi mereka yang melanggar. Kebijakan ini dirancang untuk menata kembali penggunaan ruang publik, menjadikannya tempat yang inklusif dan aman. Selain sebagai media ekspresi budaya, ruang ini harus tetap menghormati hak seluruh warga akan ketertiban, kesehatan, dan kenyamanan bersama.
Dengan kerangka sosiologi konflik, fenomena ini menunjukkan bahwa permasalahan bukan sekadar soal estetika budaya atau kebisingan sesaat, melainkan mencerminkan ketegangan struktural antara ekspresi kelompok tertentu dan kontrol sosial yang bertujuan melindungi kepentingan umum. Jika tidak dikelola secara adil dan transparan, ruang publik dapat berubah menjadi sumber konflik antar warga yang merusak harmoni sosial dan stabilitas masyarakat.
Kebaya & Pergeseran Makna Budaya
Dalam konteks karnaval sound horeg, penggunaan kebaya – sebuah pakaian tradisional yang sarat akan makna sejarah dan simbolik – mengalami perubahan fungsi yang cukup signifikan. Dulu, kebaya dikenal sebagai simbol kesopanan, keanggunan, dan status sosial perempuan dalam tradisi Jawa dan masyarakat Nusantara, kini banyak digunakan sebagai kostum dalam pertunjukan tari-tarian yang sensasional, yang sering dipertontonkan di jalanan maupun di media sosial. Fenomena ini bisa dianalisis melalui konsep cultural appropriation seperti dijelaskan oleh James O. Young (2005), yakni saat unsur budaya digunakan di luar konteks aslinya dan terlepas dari nilai-nilai dasarnya. Kebayang yang seharusnya memuat makna adat dan kesakralan, sekarang sering dipakai sebagai objek estetika tanpa memperhatikan makna historisnya, bahkan menjadi bagian dari konten viral yang dikonsumsi secara massa.