Dalam upaya memperkuat sinergi antara pendidikan, literasi, dan sastra di era abad ke-21, komunitas DIKLISA (Dialog Pendidikan, Literasi, Bahasa, dan Sastra) kembali menyelenggarakan kegiatan inspiratif bertajuk Seminar DIKLISA#5. Acara ini mengangkat dua agenda utama, yaitu peluncuran karya buku bersama berjudul "Pendidikan Abad XXI dalam Berbagai Perspektif" serta diskusi literasi bertema "Sastra sebagai Pilar Pendidikan Karakter untuk Masyarakat NKRI."
Diselenggarakan secara daring melalui platform Zoom pada Senin, 29 September 2025, pukul 13.00--15.00 WIB, kegiatan ini menghadirkan sejumlah tokoh akademisi sebagai pembicara utama, yaitu Dr. Yosi Wulandari, M.Pd. (Dosen PBSI FKIP UAD Yogyakarta) dan Dr. Ahmad Ripai, M.Pd. (Dosen PBSI FKIP UPGRIS), serta dipandu oleh Muhammad Rizqi Romadlon, S.Pd., M.Pd. dari Universitas Singaperbangsa Karawang selaku moderator. Sementara itu, sambutan dan pembukaan disampaikan oleh Prof. Dr. Muhammad Rohmadi, S.S., M.Hum., yang juga merupakan koordinator kegiatan DIKLISA.
Melalui kegiatan ini, DIKLISA tidak hanya memfasilitasi peluncuran buku, tetapi juga menjadi ruang dialog yang mendorong pemikiran kritis dan reflektif terhadap peran sastra dalam pendidikan karakter bangsa.
Peran Kearifan Lokal dalam Teks Sastra sebagai Pilar Pendidikan Karakter
Dalam diskusi literasi Seminar DIKLISA#5, Dr. Yosi Wulandari memaparkan tentang pentingnya peran Kearifan Lokal dalam Teks Sastra sebagai Pilar Pendidikan Karakter di tengah tantangan globalisasi dan disrupsi digital yang mengancam pergeseran nilai. Sastra, sebagai karya imajinatif yang memuat pengalaman estetik, moral, dan spiritual, memiliki keterpaduan dengan pendidikan karakter, yang merupakan proses menanamkan nilai-nilai moral dan budaya.
Sastra lokal memuat kearifan lokal, yaitu nilai-nilai luhur yang diwariskan melalui tradisi masyarakat. Nilai-nilai ini menjadi sumber karakter (seperti etika, gotong royong, dan tanggung jawab) dan terekam dalam berbagai bentuk sastra, seperti pantun, hikayat, dan serat. Misalnya, Pantun Melayu mencerminkan nilai cinta lingkungan melalui kearifan keselarasan dengan alam, sementara Serat Kalatidha mengajarkan integritas & keteguhan melalui pengendalian diri.
Sastra berfungsi sebagai sumber nilai moral, media refleksi diri, dan penguat identitas budaya. Untuk mengintegrasikannya, diusulkan Model Triadik yang melibatkan aspek Kognitif (mengenal nilai), Afektif (merasakan nilai), dan Konatif (bertindak sesuai nilai). Pembelajaran sastra hendaknya berfokus pada meneladani makna. Dengan demikian, pendidikan karakter berbasis sastra lokal memperkuat ketahanan budaya nasional dan mendorong masyarakat yang literat, beridentitas Indonesia, toleran, dan cinta tanah air.
Pengaruh Sastra Drama dalam Penanaman Karakter
Pada sesi seminar peluncuran karya bersama diklisa yang dilakukan melalui zoom dengan judul buku "Pendidikan Abad XXI dalam Berbagai Prespektif" Bapak Dr. Ahmad Ripal, M.Pd., dosen PBS UPGRIS selaku salah satu narasumber pada kegiatan seminar turut memaparkan beberapa materi seputar drama dan nilai karakter. Sebagai awalan beliau menjelaskan mengenai apa itu drama. Menurut beliau drama dapat diartikan sebagai sebuah karya sastra berbentuk dialog dan ditujukan untuk dipentaskan. Selain sebagai hiburan, beliau turut memaparkan bahwa drama juga memiliki fungsi edukatif dalam menyampaikan pesan moral, sosial, maupun budaya kepada penonton dan pembacanya. Berkaitan dengan nilai karakter, beliau menegaskan bahwa drama memiliki fungsi dalam penanaman karakter dari dalam diri seseorang.
 Lantas bagaimana cara sebuah drama dapat mempengaruhi penanaman karakter seseorang? Caranya cukup simpel, menurut beliau dalam sebuah drama penonton tidak hanya sekedar ditampilkan konflik dan hiburan, tetapi juga ditampilkan tontonan yang mengandung nilai-nilai karakter. Nilai-nilai karakter tersebutlah yang dapat dijadikan teladan oleh para pemirsa dan mempengaruhi bagaimana dirinya dalam bersikap. Sikap inilah yang dapat membangun karakter seseorang.Â
Sebagai akhiran beliau kembali menegaskan bahwa sastra drama adalah media pembelajaran karakter yang efektif. Melalui bacaan dan tontonan drama, nilai-nilai luhur dapat disematkan kepada pembaca dan penonton. Dengan demikian, drama tidak hanya sebagai seni pertunjukan, tetapi juga wahana pendidikan karakter.Â