Mohon tunggu...
zahra izzati najwa ramadhani
zahra izzati najwa ramadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Brawijaya

Hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

Monetisasi Emosi: Strategi Dagang atau Eksploitasi Emosi Publik?

9 Juni 2025   20:36 Diperbarui: 9 Juni 2025   20:42 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Entrepreneur. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcomp

Di era digital yang serba cepat, konten live streaming kini menjelma menjadi salah satu panggung paling ramai dalam dunia pemasaran online. Tidak hanya menampilkan produk atau promosi diskon, tetapi juga memamerkan drama, emosi, bahkan kesedihan yang dikemas begitu apik agar menggugah simpati penonton. Fenomena ini dikenal sebagai monetisasi emosi yakni sebuah praktik yang kian marak di berbagai platform seperti TikTok Live, Shopee Live, hingga Instagram.

Apa Itu Monetisasi Emosi?

Monetisasi emosi adalah strategi menjual—bukan sekadar barang, tetapi perasaan. Dengan memainkan emosi seperti panik, iba, sedih, hingga rasa urgensi, para host live streaming menggiring penonton untuk melakukan tindakan tertentu, entah membeli barang, memberi gift digital, atau menyebarkan siaran mereka agar viral. Secara halus, empati penonton “dimanfaatkan” demi keuntungan ekonomi.

Dalam pengamatan terhadap konten-konten yang viral, terdapat dua pola dominan dalam praktik monetasi emosi:

  1. Narasi Panik

Kalimat seperti “bos kabur”, “pabrik tutup”, atau “barang disita” digunakan untuk menciptakan kesan urgensi. Penonton yang merasa situasinya genting terdorong membeli tanpa berpikir panjang.

  1. Eksploitasi Sosial Kasihan

Penjual membawa lansia ke layar, kadang duduk diam tanpa konteks. Narasinya berkisar pada “belanja ini bantu nenek saya”, “kami kesusahan”, atau “jual demi bayar rumah sakit.” Penonton tergugah secara emosional dan merasa berdonasi sambil belanja.

Ironisnya, banyak dari drama ini bukan kejadian nyata, melainkan skrip yang diputar ulang. Hari ini dikabarkan “tutup toko”, dua hari kemudian akun yang sama tampil kembali dengan cerita sedih serupa. Narasi dibuat seakan-akan hidup, padahal hanya panggung semu yang dimainkan berulang demi trafik dan uang

Fenomena ini lahir dari realitas yang lebih besar: ekonomi perhatian. Di dunia digital, siapa yang paling bisa mencuri perhatian, dialah yang menang. Maka tidak heran, strategi jualan pun bergeser. Yang penting bukan lagi kualitas produk, tapi seberapa “menyentuh” ceritamu. Emosi kini bukan hanya alat, tapi juga komoditas.

Kita bisa menemukan konten penjual menangis karena salah tulis harga, pura-pura ribut dengan pasangan saat siaran langsung, atau panik karena stok tak kunjung terjual. Semua dikemas agar penonton terhibur, simpati, dan membelinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun