Setiap malam, aroma manis martabak dari gerobak kuning “Agus Putra Manggala” selalu menggoda mahasiswa yang pulang kuliah di kawasan Tembalang, Semarang. Yang berlokasi di tengah tiga kampus, Usaha martabak ini mulai dirintis pada tahun 2003 dan mulai dikenal masyarakat luas sejak 2004. Dari balik wajan panas, Bapak Agus sibuk menuang adonan sambil sesekali menyapa pelanggan langganannya. Di tengah persaingan ketat kuliner kampus, usaha martabak ini punya cara unik untuk tetap bertahan.
Lokasi tersebut sangat berpengaruh terhadap salah satu bisnis kuliner, terutama ketika berada di kawasan kampus dengan pasar utama mahasiswa. Wawancara ini bertujuan untuk memberikan informasi bagaimana usaha martabak di Jalan Sirojudin No.16 Tembalang, Semarang mengelola kendala lalu lintas dan tantangan bahan baku untuk mempertahankan pelayanan dan kualitas produk. Informasi diperoleh melalui wawancara dengan Bapak Agus dan observasi langsung dengan mendatangi outlet.
Kawasan kampus menyediakan peluang bisnis dengan mahasiswa yang besar dan beragam. Namun potensi ini diimbangi oleh kendala serius berupa kemacetan, khususnya pada jam pulang kerja dan saat masa kuliah aktif, yang mempengaruhi distribusi bahan baku dan akses pelanggan.
Bapak Agus menerapkan kebiasaan antara lain penjadwalan produksi yang menyesuaikan keadaan untuk menghindari jam macet terparah, pembukuan rapi untuk pengelolaan modal dan stok bahan baku, serta pelayanan cepat dan ramah untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang sering membutuhkan respon yang cepat dan tepat.
Bapak Agus yang memiliki latar belakang berjualan martabak sejak lama, memilih jenis martabak bandung karena itu adalah basic atau keahliannya yang sudah dikuasai sejak lama. Martabak Bandung tersebut tetap dijaga rasa dan kualitasnya, termasuk mengganti adonan gagal, menciptakan kepercayaan tinggi dari pelanggan yang sebagian besar adalah mahasiswa yang peka terhadap kualitas dan harga.
Kunci utama pelanggan kembali ke outlet ini adalah rasa yang konsisten, tempat yang higienis, serta pelayanan yang ramah. Jika ada komplain dari pelanggan, Bapak Agus segera melakukan evaluasi dan memastikan kesalahan tidak terulang. Proses pembuatan martabak sendiri menekankan prosedur standar, terutama takaran adonan yang tepat untuk menghindari kegagalan. Namun risiko seperti adonan yang "bantat"(gagal mengembang) tetap ada dan bisa menyebabkan kerugian. Bapak Agus menganggapnya sebagai bagian dari resiko berjualan, adonan gagal tidak pernah diberikan ke pelanggan, melainkan diganti dengan yang baru.
Varian best seller dari martabak manis adalah coklat keju, sedangkan untuk martabak asin, menu favorit pelanggan adalah martabak dengan 2 telur dan 3 telur. Dalam sehari, penjualan bisa mencapai 30 porsi martabak manis serta 40–50 telur martabak asin. Omset kotor harian berkisar antara 1 juta hingga 1,5 juta rupiah, yang setelah dikurangi biaya operasional, menghasilkan omset bersih 300 ribu hingga 500 ribu rupiah. Jumlah penjualan ini tidak selalu stabil, ada hari-hari di mana omset di bawah perkiraan karena faktor lingkungan seperti cuaca atau kemacetan. Modal awal yang digunakan untuk memulai usaha ini sekitar Rp10 juta lebih.
Outlet Martabak bandung hanya mempunyai satu pegawai outlet dengan dukungan dari Bapak Agus pemilik outlet. Usaha martabak yang berlokasi di tengah kawasan kampus menghadapi tantangan yang terkait dengan adanya kemacetan dan ketersediaan bahan baku. Namun, melalui strategi manajemen operasional yang fokus pada kualitas produk serta pelayanan pelanggan, usaha ini mampu bertahan dan tetap dikenal banyak orang. Informasi ini memberikan gambaran penting bagi pelaku usaha di lingkungan kampus tentang pentingnya kesiapan menghadapi perubahan lokasi strategis.