Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Seluk Beluk Tentang Koalisi Gemuk dan Ramping

24 Agustus 2023   09:43 Diperbarui: 24 Agustus 2023   22:29 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekarang sikap yang kedua. Yaitu soliditas. Baik koalisi gemuk maupun koalisi ramping tentu sama-sama ingin mengedepankan sikap yang solid. Di antara masing-masing anggota koalisi tak ada yang suka lirak-lirik ke poros lain.
Tetap ada di dalam barisan, meski ajuan kompensasi yang di inginkan jatuh ke "tangan" anggota koalisi yang lain misalnya.

Namun apa yang kini terjadi ..? Saya lihat, beberapa partai yang tergabung diporos Nasdem, KKIR dan PDIP sama-sama bersikap "mengancam", jika cawapres yang di usulkan tidak di akomodir. Akibatnya, soliditas retak.

Dan komitmen yang telah di bangun sebelumnya jadi terancam. Sewaktu-waktu, bisa saja membuat koalisi jadi bubar. Sebuah kenyataan yang pastinya tidak di inginkan. Baik oleh poros KKIR, KPP maupun PDIP.

Lalu bagaimana cara memenej koalisi gemuk..? Perlu di lihat dari kondisi sebelum poros berdiri. Ada baiknya di kunci lebih dulu posisi yang memang krusial. Kita ambil contoh di KKIR.

Dalam MoU disebutkan, nama bakal capres dan cawapres adalah hak prerogatif Prabowo dan Cak Imin. Maka sebelum Golkar dan PAN masuk, Gerindra dan PKB mestinya menyampaikan soal ketentuan ini. Sehingga kedepan, tak lagi ribut soal posisi capres atau cawapres.

Terhadap koalisi ramping, yang perlu jadi fokus perhatian adalah justru setelah koalisi solid berdiri. Berhubung jumlah anggota yang bergabung sedikit, guna kepentingan menambah suara harus menerapkan menejemen intervensi.


Ada konsep kerja keras setiap anggota koalisi dan tim masing-masing untuk melakukan perebutan suara di luar basis sendiri. Dengan demikian, kenyataan minimnya suara, bisa di atasi dengan cara mencaplok suara milik lawan.

Kedua sikap di atas bukan tak mengandung resiko. Jika posisi krusial di jadikan syarat bergabung ke koalisi sebagaimana saya contohkan di KKIR, kemungkinan besar mendapat penolakan.

Tapi menolak di awal tentu lebih baik. Dari pada di terima masuk, namun kemudian menjadikan rusak dan bubarnya koalisi. Toh menambah teman sebagai indikator koalisi gemuk, tak juga menjamin pilpres bisa menang.

Menerapkan menejemen intervensi ambil suara di luar basis sendiri bagi koalisi ramping, ada resiko kelelahan dan biaya membengkak. Ya benar. Memperkuat suara milik sendiri, tentu lebih mudah di banding harus merebut suara di kandang lawan.

Pastinya perlu kerja esktra keras dan dana besar. Tapi inipun masih lebih baik. Di banding pasrah bongkokan kepada nasib. Dan memang begitulah kenyataan yang harus diterima oleh partai yang memilih koalisi ramping.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun