Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Korupsi Klan Keluarga, Apakah Memang Tradisi?

7 Mei 2022   05:31 Diperbarui: 7 Mei 2022   06:01 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa waktu lalu, KPK menetapkan Bupati Bogor Ade Yasin sebagai tersangka suap terkait pengurusan laporan keuangan Pemkab Bogor. Uang yang disita senilai Rp.1 milliar lebih. Terdiri dari Rp. 570 juta tunai. Dan yang di rekening bank sekitar Rp. 454 juta. Uang tersebut diduga terkait suap SKPD, untuk diberikan kepada pegawai BPK agar mengkondisikan hasil audit LKPD Pemkab Bogor tahun 2021.

Sukses melakukan OTT terhadap Bupati Bogor tentu merupakan angin segar terhadap kinerja KPK. Sebelumnya, prestasi KPK memang disorot oleh berbagai pihak. Terutama pegiat anti korupsi. Kinerja KPK dianggap kalah sama Kejaksaan Agung. Mantan Jubir KPK Febri Diansyah, lewat akun twitter menyatakan, "Ketika KPK jadi sorotan tentang dugaan penerimaan gratifikasi pimpinan dan skandal internal, Kejaksaan Agung mengumumkan penyidikan korupsi mafia minyak goreng". Lebih lanjut Febri mempertanyakan, apakah KPK benar-benar akan jadi masa lalu, dilupakan dan ditinggalkan..? (Kompas.com, 20 April 2022).

Lepas dari sorotan itu, sukses KPK melakukan OTT terhadap Bupati Bogor tetap harus di apresiasi. Apakah nilai uangnya besar atau kecil, waktunya terlambat atau tidak, yang namanya tindak pidana korupsi memang harus diberantas. Selain karena merugikan keuangan negara, korupsi adalah tindak kejahatan yang melanggar hak-hak asasi manusia. Yakni hak warga negara untuk mendapat fasilitas kemudahan dan kemakmuran lewat kucuran uang negara. Kalau dikorupsi, uang itu tidak akan pernah sampai kepada rakyat.

Ade Yasin yang di OTT itu merupakan adik dari Rachmat Yasin, Bupati Bogor sebelumnya yang juga kena tangkap KPK. Keberhasilan menangkap terduga koruptor kali ini mirip dengan prestasi KPK saat menciduk keluarga Ratu Atut Chosiyah, Mantan Gubernur Banten. Juga mirip dengan OTT Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dan suaminya, Hasan Aminuddin, beberapa waktu lalu. Mereka semua tersangkut kasus korupsi yang berasal dari klan keluarga. Yakni adanya ikatan keluarga dalam satu kekerabatan atau keturunan yang memiliki masalah serupa. Sama-sama pejabat yang tersandung tindak pidana.

Melihat hal diatas, nampaknya upaya memperkaya diri secara berjamaah dalam satu keluarga, dengan jalan mencuri uang rakyat mungkin dianggap suatu fenomena yang lumrah. Tindakan koruptif seolah-olah merupakan aktivitas familier. Sudah biasa. Bukan sesuatu yang tabu. Muncul beberapa pertanyaan. Apakah tindakan semacam itu memang merupakan "pendidikan" atau tradisi yang di introdusir secara massif di internal anggota keluarga...? Apakah anggota keluarga yang punya jabatan, sengaja diminta untuk mencontoh pendahulunya., bukan hanya dalam hal menumpuk harta, tapi sekaligus juga cara menerapkan trik agar usaha koruptif sukses tidak terendus aparat penegak hukum..?

Kalau itu benar, tentu patut disayangkan. Kedepan, dapat menimbulkan persepsi buruk terhadap regenerasi calon pemimpin yang ada ikatan kekerabatan dengan pejabat yang pernah tersandung kasus korupsi. Bisa-bisa mereka dicap setali tiga uang. Sama saja. Tanpa sedikitpun ada pengecualian. Padahal, belum tentu terjadi seperti itu. Siapa tahu malah sebaliknya. Punya sifat anti korupsi dan amanah. Tidak seperti pendahulunya.

Terpilihnya kembali klan keluarga Yasin pada pilkada tahun 2018, salah satunya mungkin atas pertimbangan itu. Adanya peribahasa "buah jatuh tak jauh dari pohonnya", yang berarti  sifat anak-anak tidak jauh berbeda dari sifat orang tuanya, bukan faktor utama menentukan pilihan calon Bupati. Masyarakat Bogor tidak mau terikat pada stigma peribahasa itu. Meskipun satu keluarga, belum tentu perilaku Ade Yasin sama dengan kakaknya. Ade Yasin adalah harapan baru. Yang akan mampu membawa masyarakat Bogor dapat menikmati berbagai fasilitas pemerintah yang dikucurkan lewat uang negara.

Namun ternyata, harapan itu salah. Ade Yasin sama dengan kakaknya, Rachmat Yasin. Sama-sama tersandung soal korupsi. Pencurian uang rakyat. Meskipun masih butuh keputusan pengadilan, yang nampaknya kalau kena OTT KPK sulit untuk bebas murni, perbuatan Ade Yasin makin menguatkan peribahasa "buah jatuh tak jauh dari pohonnya'. Kalau ada pejabat yang berperilaku koruptif, maka kemungkinan besar kerabatrnya juga akan demikian. Karena itu, kalau ada pilkada lagi, jangan pilih calon yang pendahulunya pernah tersandung kasus korupsi.

Namun demikian, ada faktor lain sehingga Ade Yasin tetap menang pilkada, meskipun kakaknya Rachmat Yasin terbukti divonis bersalah karena korupsi dan sudah dijatuhi hukuman 2 tahun 8 bulan. Bisa jadi, klan keluarga Yasin memang masih punya kekuatan di Bogor. Sama dengan klan Atut Chosiyah di Banten dan Tantriana Sari di Probolinggo. Kekuatan tersebut bisa berupa finansial, kultur dan kelebihan tertentu lainnya. Akibatnya, unsur subyektifitas masyarakat Bogor menjadi dominan saat menjatuhkan pilihan pada pilkada tahun 2018 lalu. Dalam benak mereka mungkin punya prinsip "yang penting Ade Yasin menang". Urusan selanjutnya, bagaimana nanti. Dan benar saja, pertimbangan subyektifitas itulah yang kemudian menyeret Ade Yasin tersangkut perkara pidana.

Beberapa kondisi bisa menjadi penyebab munculnya tindak pidana korupsi. Dari pengalaman yang sudah-sudah, penyebab paling dominan adalah permintaan setoran atau fee proyek dan besarnya biaya pilkada yang harus ditanggung oleh seorang calon Kepala Daerah. Setoran fee bisa dari berbagai lini. Mulai dari kegiatan infrastruktur, promosi jabatan, urusan administrasi dan sebagainya. Fee yang berkaitan dengan proyek, membuat hasil pekerjaan tidak bertahan lama. Hancur dan rusak sebelum waktunya. Yang berkaitan dengan promosi, menjadikan pejabat yang diangkat kemungkinan juga akan minta fee kepada bawahannya. Dan yang berkaitan dengan administrasi, membuat pejabat tergerak untuk melakukan lobi kepada pihak berwenang, agar wilayahnya mendapat predikat tertentu. Dan sejenis terakhir inilah yang dilakukan oleh Bupati Bogor Ade Yasin.

Biaya pilkada yang cukup besar juga kerap dituding sebagai faktor penyebab terjadinya tindak pidana korupsi. Mantan Wakil Ketua KPK periode lalu, Basaria Panjaitan, pernah mengatakan bahwa kalau dipelajari, hasil dari kajian tim litbang KPK, sebagian besar atau hampir semua pilkada butuh biaya banyak, untuk kampanye, saksi, mahar lagi dan lain-lain. Akibatnya, bagi peserta yang menang namun tidak punya moral, focus utama setelah dilantik adalah bagaimana mencari uang sebanyak-banyaknya. Tujuannya ada dua. Pertama, mengganti biaya pilkada yang telah dikeluarkan. Kedua, mengumpulkan modal kembali, untuk digunakan sebagai persiapan pada pilkada periode kedua mendatang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun