Pada 3 Juni 2025, sebanyak 68 tukik penyu lekang (Lepidochelys Olivacea) yang menetas pada 13 Mei 2025 lalu dilepas di Pantai Bajulmati.Â
Tak lama berselang, 13 Juni 2025, 30 tukik dilepasliarkan oleh Kelompok Tani Hutan (KTH) Harapan Pertiwi melalui Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) 31 di Pantai Tanjung Penyu.
Kemudian pada 26 Juni 2025 dilepasliarkan lebih dari 1.000 tukik di Pantai Modangan, kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang dalam acara bertema Suro: "Memayu Hayuning Bawono." Ini menjadi simbol optimisme baru dari pinggir samudra di tengah ancaman kepunahan penyu dari habitatnya. Sebuah  filosofi Jawa yang artinya memperindah dunia, atau membuat dunia menjadi indah dan mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan serta keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan.Â
Upaya pelestarian lingkungan dan alam dengan pelepasliaran tukik ini  merupakan bagian dari menjaga harmoni kehidupan. Kegiatan konservasi ini pun merupakan ikon wisata berbasis budaya lokal yang berkelanjutan.
Keindahan pantai Tanjung Penyu - Dok. Wilbert RashyaÂ

Antara Nelayan, Wisatawan, dan Warisan Budaya
Masyarakat pesisir di sekitar Tanjung Penyu seperti di Desa Sitiarjo sejak lama hidup dari laut. Mereka menggantungkan hidup dari hasil tangkapan ikan, rajungan, dan rumput laut. Namun, perlahan kehidupan berubah. Pemerintah mendorong pengembangan kawasan ini sebagai destinasi wisata alternatif. Perahu nelayan mulai disulap menjadi perahu wisata. Anak-anak muda menjual es kelapa, hasil kerajinan kulit kerang, atau membuka jasa swafoto di tebing.
Pak Manto, mantan nelayan yang kini mengelola warung kecil di sekitar Tanjung Penyu berkata, "Kalau soal penghasilan, mungkin sekarang lebih ramai. Tapi anak-anak sekarang banyak yang tidak lagi tahu cara menangkap ikan, atau kapan ombak bagus buat melaut. Mereka sibuk main HP, ikut tamasya, tapi lupa budaya kita sendiri."
Di sinilah benturan halus antara tradisi dan modernitas terjadi. Tanjung Penyu menjadi cermin bagaimana masyarakat lokal mencoba bertahan di tengah derasnya arus pariwisata dan digitalisasi. Perubahan membawa rezeki, tetapi juga sekaligus menggeser nilai.
Warisan Tak Tertulis dan Refleksi Spiritual
Tanjung Penyu juga menyimpan jejak kepercayaan lokal. Sebagian masyarakat masih memercayai adanya makhluk penjaga lautan selatan, semacam pengaruh budaya kejawen yang melebur dengan mitos Ratu Laut Selatan.Â
Setiap tahun, menjelang musim petik laut (sedekah laut) di pantai-pantai laut selatan termasuk kini di Pantai Tanjung Penyu, beberapa warga melakukan ritual sederhana, membakar kemenyan atau menabur bunga ke laut, seraya berdoa memohon keselamatan.