Mohon tunggu...
Yusuf Wahyu Purwanto
Yusuf Wahyu Purwanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pensiunan PNS

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cerita Belum Rampung 37

10 Oktober 2012   14:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:58 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

“Bu Ne, sepertinya itu suaranya Parmin, ada apa ya!!”

“Pak De, Bu De,” mereka dengan penuh semangat berteriak lagi sambil senyum-senyum.

“Pak De, Bu De,” mereka mengulanginya, dan pintupun dibuka, nampaklah Pak Dikin dan Isterinya, keluar menjemput mereka berdua.

“Ya, ya ada apa dengan kalian, kenapa sampai berteriak-teriak bikin Pad De Bu De mu ini kaget dan gugup!” katanya sambil mencoba menggandeng keponakannya.

“Pak de, Pak De, tadi malam bapak dapat kijang, kami disuruh mengantar ini untuk Bu De dan Pak De, ini gulai kijang untuk Bu De dan Pak De, enak banget, kami tadi sudah makan sampai kenyang sekali, sebelum berangkat kesini” sambil memberikan rinjing berisi gulai daging kijang itu kepada Bu De nya.

“Bu De, Bu De, ini satenya” kata adiknya nggak mau kalah dengan kakaknya, sambil pula mengangsurkan sate kijang yang dibungkus dengan daun pisang itu.

“Pak De, Bu De,” kata mereka dengan penuh semangat.

“Kata Bapak Ibu tadi, kami disuruh cepat-cepat mengantar ini semua kesini mudah-mudahan Pak De dan Bu De belum sempat makan malam.”

“Yah, Bapakmu memang benar sekali, sampaikan terima kasih Pak De dan Bu De mu ya, kebetulan Pak De dan Bu De mu baru saja mau makan, jadi pas banget bila ada tambahan lawuh dari kalian ini, tapi yok kita masuk dulu, nggak baik omong-omong di halaman begini.” katanya sambil membawa kedua anak itu masuk kerumah mereka.

“Apakah kalian mau makan lagi bersama kami, mau kan?” kata Bu De nya

“Terima kasih, Bu De, kami masih kenyang, sebelum kesini tadi kami sudah makan,” kata Parmin yang duduk disamping adiknya.

“Kalau begitu, tunggu sebentar ya, nih Bu De punya kripik singkong, makanlah, sementara aku memindahkan isi rinjingmu ini.” kata Bu De nya sambil mengangsurkan stoples isi kripik singkong untuk kedua keponakannya itu.Sementara Bu Dikin, kedapur untuk memindahkan ini rantang dan sekaligus mencucinya, Pak Dikin menemani keponakan mereka yang berani dan lucu itu, katanya

“Parmin, kamu sekarang sudah umur berapa?”

“Kata Bapak, umurku tahun ini dua belas tahun, kenapa Pak De ?” jawabnya

“Kalau aku umur sembilan tahun Pak De.” Tanpa ditanya adiknya juga menjawab.

“Wah, aku senang sekali kalau kalian main-main kesini, rumahku jadi ramai, setelah mbakyumu Salamah pergi, rumah ini jadi sepi sekali karena isinya hanya kami berdua.” katanya.

“O ya, karena ini hari sudah agak gelap, biarlah nanti Pak De antar kalian pulang.” tambahnya.

“Tapi kami sudah gede Pak De, kata Bapak jangan ngrepotkan Pak De mu!” sahut adiknya.

“Ya, aku juga tahu kalian sudah besar-besar, sudah berani jalan sendiri, tapi apakah Pak De mu ini nggak boleh mengantar kalian pulang ?” katanya nggak mau kalah.

“Ah, kami jadi ngrepotkan Pak De, kami berani kok Pak De, apalagi tadi Pak De kan belum sempat makan dan ....... .” kata-katanya terpotong oleh kedatangan Bu De nya yang datang membawa rinjing mereka yang sekarang pun penuh diisi kripik singkong dan dua biji buah sukun hasil kebun mereka.

“Bilang sama orang tua kalian, terima kasih banyak ya!” kata Bu De nya.

“Sini Bu ne sukunnya itu, biar aku yang bawa, aku mau antar mereka sebentar.” kata Pak Dikin sambil menggandeng adiknya Parmin.Hubungan yang harmonis antara Pak Dikin dengan keluarga adiknya itu memang terjalin dengan baik sekali, walaupun rumah mereka terpisah, namun seakan-akan mereka hidup dalam satu rumah saja. Demikian pula halnya dengan kebanyakan keluarga di desa ini, saling membantu dalam berbagai hal nampak dalam kehidupan mereka.

Saat ini, Parmin dan adiknya sudah berkeluarga pula, mbah Dikin dan isterinya sudah menjadi kakek dan nenek-nenek, setiap hari setelah pulang dari kebun pekerjaan mereka adalah momong cucu, dua orang anak dari Parmin kemenakannya itu, yang kebetulan rumah mereka tidak begitu jauh dari rumahnya dan itulah hiburan mereka.

Siang itu, kebetulan Aji dan Sari adiknya, sedang tidur ditemani neneknya karena bapak dan Ibunya belum pulang dari kebun sedang mbah Dikin duduk sendiri diatas lincak sambil memandang jauh kedepan keluar halaman rumahnya, sambil menikmati kicau burung prenjak yang ngganter sejak pagi disekeling rumahnya, dalam hati selalu berharap siapa tahu hari ini Salamah anaknya pulang. Mbah Dikin yang selalu berharap kedatangan anaknya dan tidak tahu bahwa anaknya yang dirindukan itu sudah tiada, sudah pergi menghadap yang Maha Kuasa untuk mempertanggung jawabkan segala perbuatannya selama di dunia ini. Dalam usianya yang dapat dikatakan sudah tua itu mbah Dikin juga juga masih sadar bahwa tak seorang manusiapun didunia ini yang dapat menolak panggilanNya, tak seorangpun dapat menolak walaupun dengan berbagai macam alasan yang paling penting.

Demikian pula tak seorangpun dapat meramalkan kapan waktunya, dan bagaimana nantinya dia harus menghadap, dengan cara yang lumrah atau mati karena usia lanjut, mati muda karena sakit, ataupun karena menjadi korban peperangan. Bagaikan seorang pencuri maut itu mengintai setiap orang, dimana, kapan dan penyebabnya, oleh karena itu berjaga-jagalah karena kita tidak tahu kapan waktunya. Menurut kata para leluhur, cara datangnya maut itu seperti pencuri itu juga sangat menguntungkan bagi setiap manusia yang sadar tentang keberadaannya, bahwa manusia hidup itu hanya sekedar menjalani saja, yang berkuasa untuk menentukan usia setiap manusia hanyalah Yang Maha Kuasa bukan manusia. Manusia hanya dapat berusaha mengisi kehidupannya yang hanya sementara, bebas mau di isi dengan kehidupan yang bagaimana itu terserah pada manusia itu sendiri karena padanya telah dititipkan akal dan budi yang tidak dimiliki oleh mahluk lainnya di atas bumi ini.

Yang Maha Pencipta yang empunya hidup telah pula memberitahukan cara mengisi kehidupannya melalui berbagai cara, melalui pesan-pesan luhur para nenek moyang, melalui kitab-kitab para pujangga, dan yang terdekat adalah melalui hati nuraninya sendiri, mau didengar atai tidak tetap hak manusia itu sendiri. Bila hati nuraninya mengatakan jangan mencuri namun tetap dilanggarnya maka segala akibatnya adalah tanggung jawabnya manusia itu sendiri juga, dan masih banyak contoh lainnya seperti jangan membunuh, jangan bersaksi dusta dll. Yang menjadi masalah adalah mengapa manusia tidak atau kurang mau mendengar apa yang dikatakan oleh hati nuraninya? Apakah Yang Maha Kuasa salah ketika memberikan akal budi dan kehendak bebas kepada manusia? ’Duh Gusti, nyuwun kawelasan!’ (Tuhan kasihanilah kami).

Keasyikkan mbah Dikin dalam lamunannya akhirnya bubar juga, ketika seseorang datang untuk minta tolong dipijat badannya, katanya“Sudahlah mbah, jangan melamun terus, pasrahkan saja semuanya kepada Yang Maha Kuasa, lebih baik memijit pundak dan tengkukku yang terasa kaku, mungkin karena keseleo bantal waktu tidur!” kata tetangganya yang datang khusus minta dipijat.

“Yang ngalamun itu siapa? wong aku juga baru saja duduk disini, cari semilirnya angin.” kata mbah Dikin tidak mengaku.

“Lha, nggak ngaku lagi, sudah pasti ketahuan masih saja nggak ngaku, itu buktinya ada di bibirmu itu lho mbah, rokokmu itu sudah berapa bulan mati, kok masih diisap terus” katanya.

“Lha, wong rokokku mati memang kubiarkan karena aku males ngambil korek kok diributkan” katanya pula.

“Ya sudahlah mbah!, kamu agak kesana dikit biar aku bisa tengkurap dan kamu dapat mijit aku dengan enak pula.” Kata Salamun sambil mendesak duduk mbah Dikin lalu mengambil posisi tengkurap persis didepan mbah Dikin itu.

“Ya, yah, tengkuraplah yang nyaman, aku mau ambil minyak kelapa dulu.” kata mbah Dikin sambil beringsut untuk turun dari amben itu dan masuk kedalam rumah minyak yang biasa digunakan untuk mengurut atau memijit. Dan Salamun tetangganya yang ditinggal tengkurap itu diam saja, sambil toleh sana toleh sini mencari arah suara burung prenjak yang ngoceh terus

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun