Mohon tunggu...
Yusuf Wahyu Purwanto
Yusuf Wahyu Purwanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pensiunan PNS

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cerita belum rampung 36

10 Oktober 2012   05:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:59 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

sendiri berdasarkan kesepakatan mereka pula, dan sebagai Kepala Desa pertama yang menguasai padukuan atau Desa Ngaglik (sebagai pengganti nama Janur Wenda) adalah Ki Darmogati.

Ki Darmogati diminta oleh penduduk untuk menjadi Lurah Desa setelah Prajurit yang tinggal disitu telah ditarik kembali ke kota raja. Darmogati sebenarnya menolak dengan alasan ingin bebas dan masih penasaran untuk mencari kedua pembunuh kakaknya itu namun atas desakan penduduk dan siapa lagi yang bisa ilmu beladiri selain dia, akhirnya diapun bersedia dengan catatan agar penduduk yang merasa masih mampu atau belum terlalu tua dan terutama pemuda dan pemudinya harus ikut latihan beladiri yang akan dia pimpin sendiri agar suatu ketika Desa itu mampu membela dirinya sendiri, dan kesepakatan itupun disanggupi oleh semuanya. Berkat ketlatenan Ki Darmogati, latihan diadakan tiga kali dalam seminggu, mereka yang ikut dalam latihanpun dibagi menjadi empat, yaitu kelompok anak-anak dan remaja, kelompok bapak-bapak dan kelompok pemudanya.

Pada pagi hari semua wajib berladang, beternak sesuai bidang pekerjaannya, namun sore harinya merekapun berubah menjadi pesilat-pesilat tangguh, yang tak bosan-bosannya berlatih dipelataran bekas padepokan itu, sedang malamnya kadang masih ada juga yang terlihat masih berlatih terutama mereka-mereka yang dinilai mempunyai bakat baik, sehingga diberikan latihan-latihan khusus, melihat perkembangan ini Ki Darmogatipun semakin bersemangat dan krasan tinggal di Desa Ngaglik itu.

1.Keplayu-playu.

Kemanakah perginya kedua mantan selir Ki Rangga Samekto? Merasa tidak mungkin ada harapan lagi untuk memenangkan pertempuran melawan prajurit pemerintah yang berkuasa, maka mereka berdua melarikan diri dengan membawa jenasah saudaranya, untuk mengelabui Darmogati, mereka menggunakan semacam bom asap dan pada saat bom asap itu meledak dan mengeluarkan asap yang tebal, maka pada saat itulah melarikan diri. Sesaat mereka sempat bersembunyi di antara tembok pagar padepokan dan kandang ternak, begitu melihat Darmogati mengejar kearah barat, maka merekapun mengambil jalan kearah timur dan terus lari tanpa mengenal lelah sambil memanggul jenasah saudaranya secara bergantian, menyusuri sungai kecil hingga mereka mendekati sebuah air terjun yang sekarang dikenal dengan nama air terjun Cobaningrondo.

Dengan badan terasa masih sangat lelah mereka berdua mencoba menggali kubur untuk saudaranya, walaupun lambat karena tidak ada cangkul dan hanya mengandalkan dua bilah pedang mereka akhirnya menguburkan jenasah saudaranya disitu dengan ’tetenger’ (tanda) pohon pakis hutan. Setelah selesai mereka segera membersihkan diri di bawah air terjun itu, air yang tidak hanya bening dan sejuk menyegarkan tapi sangat dingin namun sangat nyaman untuk menghilangkan rasa penat setelah semalaman mereka berlari sambil memanggul jenasah saudaranya.

“Mbakyu Lastri, buatlah api sementara aku akan mencoba mencari binatang buruan yang mungkin masih ada di hutan ini.” Namun baru saja selesai Sukarti menutup mulutnya terdengar suara nguik, nguik, dan dengan cekatan Sukartipun melompat mengejar kearah suara itu, ternyata seekor ’genjik’ (anak babi hutan), sedang terpisah dari induknya karena terperosok kedalam perangkap yang sengaja dipasang oleh pemburu.

“Wah, lumayan ada genjik disini”

Lalu diambilnyalah genjik gemuk yang masuk perangkap itu, dipukulnya kepala genjik itu agar memudahkan membawa dan tidak menimbulkan suara yang dapat memancing datangnya si pemburu untuk melihat perangkapnya.Yang namanya laparpun akhirnya tertanggulangi dengan memanggang dan menyantap habis seekor genjik muda genjik itu walaupun tanpa bumbu penyedap dan yang tersisa hanya bagian ekor dan kepala serta kukunya saja. Seperti biasanya, yang dirasakan oleh setiap manusia, setelah perut mereka kenyang ditambah badan yang kelelahan maka matapun mulai berat dan tertidurlah ditempat itu tanpa mempedulikan lagi bahwa tempat mereka tertidur itu adalah daerah yang sangat lembab akibat embun air yang ditimbulkan oleh air terjun itu. Keesokkan harinya kata Sulastri “Dimas Sukarti, sebaiknya segera pergi dari tempat ini sebelum jejak kita diketahui oleh Darmogati gemblung itu dan si pemburu yang kehilangan hewan buruannya.”

“Ya mbakyu, tapi kita pergi kemana ...... ? atau sebaiknya kita pergi ke Desa Bumiaji saja, kerumah orang tua guru kita, siapa tahu orang tua itu masih ada dan kita sementara bisa tinggal disana!” kata Sukarti

Dan merekapun sepakat melanjutkan perjalanan lagi menuju desa tempat tinggal orang tua Nyai Kapilara yaitu desa Bumiaji.

Desa Bumiaji adalah sebuah desa yang subur, sebagai desa penghasil palawija yang berlebih hasil panennya maka hal ini juga sangat menguntungkan bagi para tengkulak dan pedagang palawija yang memanfaatkan kelebihan hasil ini dapat dijual ke desa lain atau ke kota raja, bila hari pasar sudah tiba, maka lapangan dekat pesangrahan itu menjadi ramai oleh para pedagang yang membawa barang-barang keperluan penduduk disitu dan pulang kembali dengan membawa palawija untuk dijual ke tempat lain, dan begitulah kehidupan masyarakat kecil yang serba sederhana, yang menikmati hidup mereka seperti air mengalir, pasrah bongkokan kepada kehendak Sang Hyang Widi yang menguasai hidup dan kehidupan ini.

Siang itu seorang kakek tua, duduk santai diatas lincak (dipan) yang ada didepan rumahnya, rokok klobot jagung menghiasi bibirnya yang sedari tadi rokok itu sudah mati. Mbah Dikin begitu masyarakat memanggilnya. Bila dilihat dari umurnya, mbah Dikin sudah hampir enam puluh tahun, namun bila kita lihat dari fisik tubuhnya orang tak akan percaya bahwa mbah Dikin sudah cukup tua. Mbah Dikin duduk santai sambil menunggu para pelanggannya datang untuk minta dipijit, mungkin karena capek habis berjalan jauh, karena keseleo, salah urat sebagai pekerjaan sambilannya disamping sebagai petani tulen.

Mbah Dikin nampaknya seperti orang yang tanpa masalah, dia selalu ramah kepada siapapun, tak peduli tua ataupun muda, bahkan anak-anakpun dapat bergaul akrab dengan Mbah Dikin ini. Pembawaan yang selalu ramah terhadap siapapun ini ternyata merupakan pelampiasan rasa rindu yang sangat dalam terhadap Salamah anak gadis satu-satunya yang telah pergi kurang lebih lima belas tahun yang lalu sejak berumur enam belas tahun.

Dia pergi melarikan diri bersama beberapa orang pemuda dari desa itu yang katanya mau berguru ke sebuah padepokan yang tidak diketahui nama padepokan itu. Salamah melarikan diri karena mau dijodohkan dengan anak pengulu air yang kaya itu walaupun sudah punya dua orang isteri.

Sebenarnya secara baik-baik Salamah sudah minta izin kepada kedua orang tuanya itu untuk pergi mencari ilmu, berguru ke padepokan sebagai bekal dimasa depannya, namun alasan itu tidak dapat diterima oleh kedua orang tuanya dengan alasan yang sangat klasik sekali.

“Salamah, untuk apa berguru dan punya ilmu tinggi kalau akhirnya kamu nanti ke dapur juga tempatmu, tempat yang paling istimewa untuk seorang perempuan hanyalah di dapur dan melayani suami serta mengasuh anak-anaknya.”

Apapun alasannya, maka jawaban yang sama itu pula yang diberikan oleh kedua orang tuanya, maka akhirnya dia melarikan diri, minggat dari rumahnya tanpa meninggalkan pesan. Rasa marah kedua orang tuanya tak terbendung lagi, beberapa padepokan mereka datangi untuk menanyakan keberadaan putrinya namun semua hasilnya nihil, dua tahun lebih upaya mencari anaknya hanya mendapat hasil nol besar.

“Sudahlah Bu ne, kita pasrahkan saja kepada Gusti Allah, sing kagungan urip ini, kalau memang ada umur panjang, suatu ketika pasti kita akan ketemu dengan dia.” Dari jawaban itu sudah tercermin keputusaan orang tua yang kehilangan anak satu-satunya. Si ibu yang tubuhnya mulai sakit-sakit diusia tiga puluh dua tahun karena yang dipikirnya hanya bagaimana nasib anaknya sekarang ini, sedih dan tekanan batin yang berlebihan ternyata menjadi penyakit dirinya sendiri, sampai suatu petang ketika mereka siap-siap mau makan malam, datanglah seorang remaja laki-laki berumur dua belas tahun menggandeng adiknya yang masih berumur sembilan tahun. Mereka berdua adalah kemenakan dari Pak Dikin yang tinggal di ujung desa, mereka datang disuruh oleh orang tuanya untuk mengantar gulai daging kijang, yang kebetulan tertangkap karena kakinya masuk kedalam perangkap babi hutan yang sengaja dipasang di pinggir tegalannya (kebunnya).

“Pak De, Bu De,” mereka berteriak dari luar rumah dengan penuh semangat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun