Mohon tunggu...
Yusuf Wahyu Purwanto
Yusuf Wahyu Purwanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pensiunan PNS

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cerita Belum Rampung 35

7 Oktober 2012   12:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:07 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

“Ya Kakang, aku pamit.” Maka dengan sigap dan penuh semangat segera melaksanakan kesepakatan mereka tadi.

Sementara Ki Rangga Samekto, berjalan seorang diri menuju bulak itu, ternyata di tengah bulak itu sendiri telah bersiap-siap anak buah ketiga Klabang. Tak jauh dari tempat itu, tepat dibawah pohon randu alas, samar-samar ada bayangan enam manusia yang berdiri menunggu sesuatu,

“Guru apakah kira-kira Senopati itu berani datang kesini?” kata Tumenggung Pratala kepada gurunya yang berada disampingnya,

“Aku belum tahu pasti Pratala, bila lewat tengah malam dia tidak datang, maka jangan segan-segan menghabisi kedua abdinya itu.”

“Ngger Tumenggung, tak usah kawatir, hamba yakin dia pasti datang, saat ini memang belum waktunya, belum tengah malam Ngger.” Kata Klabang Ireng seorang dari ketiga klabang itu.Sementara itu kurang lebih seratus orang prajurit pendem, bergerak cepat tanpa menimbulkan suara berusaha mengepung bulak itu, jarak yang mereka tempuh sebenarnya cukup jauh karena harus memutari bulak tersebut, namun karena mereka sudah hafal dengan situasi bulak tersebut dan terbantu bulan yang saat itu tertutup mendung, maka tanpa kesulitan yang berarti mereka tinggal menunggu aba-aba dari Ki Lurah Parto dan Senopati Tarunajaya yang masing-masing juga bergerak terpisah dan ditangan merekapun telah siap panah sendaren yang akan mengeluarkan bunyi khusus sebagai isyarat penyerangan bila panah tersebut dilepas keudara. Demikian pula pada saat yang sama, Ki Patih yang dikawal oleh Senopati Ramanggawe dan prajurit kawal kepatihan telah pula siap ditempat yang tersembunyi.

Dengan tenang namun waspada Senopati Rangga Samekto tetap dengan langkahnya yang tetap seolah tak menghiraukan suasana sunyi yang menyelimutinya kecuali suara jengkerik yang sekali-sekali terdengar bersahutan. Ketika Ki Rangga telah mendekati pohon randu alas seperti yang dijanjikan, barulah nampak bayangan ketiga Klabang yang langsung mengambil posisi mengurung Ki Rangga.

“Hei, Brentilah Senopati Rangga, ternyata engkau memang pemberani, mana kedua temanmu itu, mengapa tidak kau ajak meramaikan acara kita ini?”

“Oh, kalian yang menamakan diri tiga Klabang pengecut itu ya, …. Apa maksud tantangan kalian ini, ayo cepat lepaskan kedua abdiku itu, sebelum kalian kuinjak-injak.” Gertaknya.

“Wah, wah, sombong juga orang ini, Hei Ki Rangga, … kami memang datang untuk menantangmu, karena ingin melihat kehebatan ilmu yang kamu ciptakan itu, kira-kira apakah cukup mampu melawan kesaktian kami bertiga.”

“Aku belum pernah memamerkan ilmuku kepada siapapun kecuali kepada Nyai Kapilara, rupanya ada yang tidak wajar bagi kalian bertiga ini yang tiba-tiba datang pingin mengadu kesaktian, Hem, … ngaku saja dari mana kalian mendapat keterangan tentang ilmuku itu, ataukah kalian penghuni padepokan Janur Wenda yang sempat melarikan diri?” Kata Ki Rangga berusaha mengulur waktu untuk mencari keterangan

Klabang Ireng sebagai yang tertua dari ketiga Klabang itu tertawa lirih,

“Untuk mengetahui perihal aji-ajimu yang masih hijau itu, kami tidak perlu mendapat keterangan dari siapapun karena sudah bukan rahasia lagi bagi kami.”

“Yah, hanya ada dua kemungkinan dari mana kalian tahu tentang hal itu, pertama kalian adalah pelarian dari padepokan itu, dan yang kedua ada orang yang hadir dalam pasewakan kemarin dulu, yang telah mengabarkan kepada kalian untuk mencobaku setelah usahanya membuat ontran-ontran itu tidak berhasil, mengaku sajalah, siapa yang menyewamu untuk membunuhku dan berapa harga nyawa kalian ini, kalian akan kubayar dua kali lipat!” Pancing Ki Rangga.

“Kurang ajar, dasar sombong, sok jadi peramal, nah biar kamu tidak mati penasaran bahwa yang meminta kami membunuhmu adalah …… Ngger Pra ….. aduh,!” Klabang Ireng terhenti pembicaraannya bersamaan dengan kematiannya.Dan jatuhlah Klabang Ireng dan mati tiarap karena punggungnya telah ditembus belati yang amblas sampai gagangnya.Melihat kakaknya telah tewas sebelum bertempur, maka klabang merah dan klabang kuningpun berbalik arah dan menyerang bayangan manusia yang berada dibawah pohon randu alas itu. Serunya :

”Hei, pengecut Pratala, mengapa kamu membunuh kakakku secara pengecut?” kata mereka serempak. Dan tanpa menunggu jawaban kedua klabang itu mengamuk menyerang Tumenggung Pratala dengan sengit sehingga mau tidak mau Tumenggung Pratalapun membela diri dari serangan itu. Demikian pula dengan anak buah ketiga klabang itu, tidak lagi bersiap-siap menyerang Ki Rangga Samekto, melainkan ikut mengepung dan menyerang Tumenggung Pratala, Kiai Sureng Pati dan Wara Sunti dan serta merta Ki Ranggapun melompat untuk membebaskan kedua abdinya yang telah diketahui tempatnya sejak tadi.

Suara panah sendaren pertama telah meluncur keudara, maka pasukan prajurit pendempun mulai bergerak memperkecil arena kepungan mereka, dengan tetap waspada mereka bergerak cepat ketengah arena sehingga lingkaran arena tempat kedua klabang dan anak buahnya bertempur itupun semakin sempit, namun tiba-tiba Ma Patih tahu-tahu sudah berada disamping Ki Rangga Samekto dan berusaha menahan kepungan para prajurit itu,

“Tahan, jangan terlalu mendekat, sangat berbahaya!” mendengar seruan itu tidak hanya prajurit yang terkejut dan berhenti bergerak, tapi mereka yang bertempurpun berhenti dan baru sadar bahwa mereka telah terkepung, sesaat kemudian Ki Surengpatipun memberi isyarat kepada Wara Sunti dan Pratala untuk mendekat pada dirinya dan “plas” lenyaplah mereka bertiga dari pandangan lawan-lawannya dan prajurit yang mengepung rapat itu, kemudian yang terdengar suara dari kejauhan

“Hei, ingat-ingat, kami belumlah kalah, tunggu pembalasan kami!”

“Kurang ajar, pengecut, dasar babi, celeng setan tetekan!” Seru klabang merah marah sekali, kemudian dia juga sadar bahwa dia dan anak buahnya telah terkepung maka katanya lagi

”Sekarang, kalian mau apa?”

“Sabar Kisanak, musuh kalian yang sebenarnya telah pergi, sebaiknyalah kalian segera pergi dari wilayah ini, dan bawa serta kuburkan baik-baik saudaramu itu, kami tahu kalian hanya di upah dan aku yakin upahmupun belum dibayar.” Kata Ma Patih dengan sabarnya,

“Hei, siapa kisanak, apakah kisanak ini prajurit yang mau menangkap kami?”

“Benar, kami adalah prajurit kerajaan Kediri, Nah kalian sudah tahu! Sekarang segera pergi dari wilayah ini sebelum kami berubah pikiran untuk menangkap kalian semua, kecuali …..“

“Baik, baik kami akan segera pergi kisanak, terima kasih, dan kami tak akan melupakan peristiwa ini …. Ayo cepat!” Potong klabang merah, yang kemudian mengajak semua anak buahnya untuk pergi dari bulak itu sambil membawa jenasah kakak mereka itu.

“Gusti Ma Patih, kalau hamba boleh tahu Gusti Ma Patih, mengapa mereka dibiarkan pergi tanpa diadili terlebih dahulu?” kata Senopati Rangga Samekto.

“Senapati Rangga, masalah serupa inilah yang telah kamu alami di Padepokan Janur Wenda itu, kini mereka sudah pergi itu juga sudah baik, tak ada korban yang jatuh itu tujuannya, kalau naluri kita yang berperan maka pertempuran pasti terjadi dan pasti akan nada korban luka-luka bahkan mati, saat ini kita sudah menang, menang mutlak, musuh sudah pergi, dan tidak ada korban itu sudah cukup baik, mari kita pulang dan melanjutkan istirahat kita, biar esok yang melaporkan kepada baginda aku saja.”

“Sendika, Gusti Ma Patih, dan merekapun pulang dengan gembira karena tak ada korban dan musuh telah pergi dan hanya dikalahkan cukup dengan kata-kata hati nurani.

Keesokkan harinya, Ma Patih menepati janjinya, melaporkan semua kejadian semalam kepada Baginda, sebenarnya Baginda sangat penasaran dengan dibiarkannya musuh pergi begitu saja, tapi mau apa lagi, yang penting siapa yang menjadi biang ontran-ontran itu telah diketahui dan yang bersangkutanpun telah pergi bersama dalangnya selama ini.

Padepokan Janur Wenda setelah peristiwa itu sudah bukan lagi tempat yang angker bagi penduduk, tempat itu sekarang telah berubah menjadi rumah Kepala Desa yang mereka angkat sendiri

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun