Mohon tunggu...
Yusuf Wahyu Purwanto
Yusuf Wahyu Purwanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pensiunan PNS

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cerita Belum Rampung 34

28 September 2012   04:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:33 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

1.Becik ketitik ala ketara.

Sementara itu dipendopo kediaman Tumenggung Pratala, Ki Surengpati sedang berjalan mondar-mandir dipendopo rumah itu, sementara Tumenggung Pratala, isterinya dan Wara Sunti hanya duduk diam tanpa komentar, mengamati gurunya yang sedang mondar-mandir itu, dan tiba-tiba berhenti persis didepan Tumenggung.

“Pratala, tidak ada cara lain kecuali memaksa Senopati Rangga Samekto mundur dengan cara yang kasar karena dengan cara yang kemarin kelihatannya dia tidak mempan lagi, yah tidak ada cara lain lagi.”

“Apakah maksud Guru, Ki Rangga tersebut kita datangi dan kita bunuh di rumahnya?”

“Yah maksudku begitu, tapi jangan kita yang membunuh dia tapi dengan menggunakan tangan orang lain, misalnya dengan menggunakan racun yang mematikan atau menyewa orang untuk membunuhnya.”

“Guru, kalau menggunakan racun berarti makin bertambahlah orang dekat dia yang tahu masalah ini karena hanya para abdinya yang mempunyai kesempatan itu, sebaiknya kita sewa orang yang sakti dan mumpuni untuk menyelesaikan sendiri tanpa melibatkan kita, Guru.”

“Benar katamu, aku akan menghubungi ketiga Klabang bersaudara saja.”

“Guru, apakah tidak sebaiknya menggunakan utusan saja untuk menghubungi mereka, sementara Guru bisa beristirahat, sekalian sambil mengamati latihan hamba.”

“Boleh juga pikiranmu itu, tapi cari orangmu yang bener-bener dapat dipercaya.”

Hingga suatu petang dirumah Senopati Rangga Samekto yang sedang menerima tamu yakni Senopati Tarunajaya dan Senopati Ramanggawe yang ditemani oleh Ki Lurah Truno, mereka berempat sedang asyik membicarakan masalah kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi setelah pasewaan tiga hari yang lalu, mereka para tamu itu memang sengaja datang ke kediaman Ki Rangga Samekto, selain berkunjung juga ingin menemani Senopati Rangga yang sedang kesepian sendiri di rumah dan hanya ditemani oleh dua orang abdi untuk urusan didapur dan kebersihan rumah tersebut.

“Kakang Samekto!”, kata Senapati Ramanggawe

“Aku ini orang yang paling tidak suka ngrasani orang, atau ngobrol kesana kemari, bahkan lebih baik tidur atau menikmati perkututku di rumah, sehingga aku sangat kaget ketika dalam pasewakan itu, seakan-akan diadili oleh semua orang termasuk Ma Patih, Kakang.”

“Dimas Ramanggawe, aku berterima kasih kedua adi juga Ki Lurah Truno, mau meluangkan waktu dan perhatian untuk aku sore ini, sesungguhnya aku merasa masih teman untuk wawan rembug, punya teman untuk mbuang uneg-uneg yang ngganjel dalam hatiku ini, …….. perasaan yang sama juga aku rasakan pada saat itu adi, kadang-kadang aku rasa-rasa selama ini aku tidak merasa mempunyai musuh dan aku selalu berusaha berbuat baik kepada teman-teman, tapi nyatanya hal yang baik menurutku ternyata tidak selalu baik bagi teman-teman sendiri, lha aku ini seharusnya bagaimana? Makanya aku putuskan untuk lengser saja dan kembali kehabitatku saja sebagai seorang petani, ternyata sulit juga, dan sampai sekarang belum juga permohonanku dikabulkan Baginda Adi!”

“Menurutku Kakang, baik Baginda maupun Ma Patih juga sulit untuk menerima begitu saja permohonan Kakang, tapi kakang Samekto, kita ini kan bawahan yang mempunyai atasan, pertimbangan yang menurut kita benar belum tentu dapat dibenarkan oleh orang lain apalagi atasan kita yang merasa berkuasa atas diri kita ini Kakang.” Kata Senopati Tarunajaya.

“Betul, Ki Rangga Samekto, kita ini hanya ’sak derma’ (sekedar) melaksanakan pekerjaan saja.” Sambung lurah Truno.

“Terima kasih adi berdua dan juga Ki Lurah Truno, memang kita hanya sekedar melaksanakan tugas, tapi kita kan juga bisa membaca atau merasakan apakah tugas itu telah kita laksanakan dengan baik atau tidak, janganlah sampai tugas yang kita laksanakan dengan sepenuh hati dan taruhan nyawa itu tidak ada manfaatnya sama sekali bagi kita. Inilah yang sedang mengganggu pikiranku, eh syukur kalau ada ucapan terima kasih, rasa capek belumlah hilang malah dihadapkan ke dalam sidang hanya gara-gara cerita-cerita yang ngayawara saja, tapi ini bukan berarti aku minta dihargai oleh Baginda Raja, bukan sama sekali, apalagi untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi, inilah yang membuat aku sedih dan maunya cepat pulang kedesa saja!” keluh Ki Rangga Samekto, dan ketiga tamunya juga terbawa dia.

Namun tiba-tiba terdengar suara kesiut angin yang mengarah ke pendopo itu, dan dengan gerak refleknya Senapati Rangga Samekto beranjak berdiri dan berkelebat untuk menangkap sebatang anak panah yang dengan cepatnya menuju kearahnya, melihat kejadian itu Senapati Tarunajaya dan Senapati Ramanggawe segera berlarian keluar pendopo ke halaman untuk mencari tahu dari mana asal anak panah itu, tapi ternyata sia-sia karena tak ada tanda-tanda yang mencurigakan di sekitar halaman itu. Ketika mereka kembali ke Pendopo itu, terlihat Ki Rangga Samekto sedang memegangi pundak Ki Lurah Truno, ternyata di punggung Lurah Truno, ada sebuah anak panah yang menancap dan menembus sampai kedadanya dan Ki Lurahpun tewas ditempat sebelum menyadari apa yang terjadi pada dirinya.

Sementara itu ditangan Senopati Rangga Samekto sendiri ada dua buah anak panah yang lain.

“Adi, sesaat kalian berlari keluar, ada dua anak panah lagi yang ditujukan kepadaku dan Ki Lurah Truno, tapi dari arah yang berbeda, sayangnya aku hanya dapat menangkap satu, sementara yang satunya tepat mengenai sasarannya yaitu tubuh Ki Lurah Truno, maafkan aku Ki Ramanggawe, aku tidak sempat melindungi lurahmu itu.”

“Sudahlah, Kakang, kejadian ini diluar jangkauan kita, yang penting kita bertiga masih selamat dari percobaan pembunuhanitu, tapi coba aku lihat panah yang pertama tadi Kakang?”

“ Oh, yang ini maksudmu Adi?”katanya.

“Ya Kakang, eh panah ini ada suratnya yang digulung pada batangnya Kakang!” kemudian dibukanya gulungan surat itu, dan ternyata sebuah surat tantangan katanya

“AKU TUNGGU DI BULAK SEBELAH TIMUR,

DEKAT POHON RANDU ALAS, TENGAH MALAM INI JUGA,

BILA TIDAK DATANG, MAKA KEDUA ABDIMU MATI,

TIGA KLABANG”

Cepat Ki Rangga Samekto, lari kedalam rumah mencari kedua abdinya, ternyata memang mereka memang sudah tidak ada lagi ditempat, maka kembalilah dia ke Pendopo katanya

”Mereka sudah tidak ada didalam rumah, siapa Tiga Klabang ini, kurang ajar, Adi berdua sebaiknya segera pulang, nampaknya dia sudah tidak tahan lagi bersembunyi dibalik cerita-ceritanya, yang ditantang adalah aku, oleh karena itu biarlah aku yang menghadapinya!”

“Tidak bisa Kakang, kita bertiga berada disini, itu artinya kita bertiga yang ditantangnya, bukan Kakang sendiri!” kata Ki Rangga Taruna

“Benar Kakang, dia juga membunuh lurah prajuritku, ini harus dibalas Kakang!”

“Nah, kalau begitu tekad adi berdua, kita bagi tugas saja, Adi Taruna, tolong Adi menghubungi Lurah Parto, ceritakan secara singkat, suruh dia bawa pasukan pendem segelar sepapan dan kepung bulak timur dari kejauhan dan jangan sampai ketahuan.

“Lalu Adi Ramanggawe, selain menyerahkan lurah Truno kepada keluarganya, tolong segera menghubungi Ma Patih, ceritakan apa adanya, bila Ki Patih berkenan menyaksikan si pembuat ontran-ontran (gara-gara) itu silahkan datang tapi tanpa pasukan supaya tidak terjadi keributan, karena pasukan pendem sudah berangkat dibawah pimpinan Adi Taruna, sementara aku sendiri akan berusaha menghadapi ketiga klabang bajingan itu, tapi maaf Adi Berdua, ini bukan perintahku, tapi kita bagi tugas Adi !” kata Ki Rangga Samekto.

“Duh, Kakang, Jangan berpikir seperti itu, ini wajar sekali namanya juga sama-sama diancam, jauhkan rasa sungkan itu Kakang, sekalian aku juga pingin tahu siapa yang ada dibelakang ketiga klabang ini, Kakang!” sahut Ki Ramanggawe.

“Terima kasih, Adiku berdua, mari kita mulai dari sekarang.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun