Di balik kemegahan pembangunan desa yang semakin pesat sejak berlakunya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, tersimpan persoalan klasik yang masih membayangi banyak desa di Indonesia: praktik korupsi terselubung lewat pengelolaan pribadi tanah bengkok. Tanah bengkok yang sejatinya merupakan bagian dari aset desa sering kali dikuasai secara eksklusif oleh perangkat desa. Lebih dari sekadar warisan adat, pengelolaan tanah bengkok secara pribadi telah berkembang menjadi alat transaksi kekuasaan melanggengkan bisnis jabatan desa.
Jika tidak segera ditata ulang, tanah bengkok akan terus menjadi sumber korupsi yang legalistik. Oleh karena itu, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) hadir sebagai solusi cerdas: lembaga resmi yang mampu mengelola aset desa secara kolektif, transparan, dan profesional. Sudah saatnya tanah bengkok tidak lagi menjadi bancakan segelintir orang, tetapi menjadi sumber kesejahteraan seluruh warga desa.
Antara Tradisi dan Regulasi
Secara historis, tanah bengkok merupakan tanah kas desa yang diperuntukkan sebagai tunjangan bagi kepala desa dan perangkatnya. Namun, dalam perspektif hukum modern, khususnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Permendagri No. 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa, tanah bengkok dikategorikan sebagai aset desa, bukan milik pribadi. Pasal 72 UU Desa menyebutkan bahwa salah satu sumber Pendapatan Asli Desa (PADes) adalah hasil pemanfaatan kekayaan desa, termasuk tanah bengkok.
Permendagri No. 1 Tahun 2016 menegaskan bahwa setiap pemanfaatan aset desa harus melalui musyawarah desa dan dicatat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Artinya, hasil dari tanah bengkok bukan hak mutlak perorangan, melainkan bagian dari sumber keuangan desa yang harus dikelola secara transparan dan akuntabel. Ketika perangkat desa mengelola tanah bengkok secara pribadi dan tidak melaporkan hasilnya ke dalam APBDes, maka praktik tersebut bertentangan dengan semangat reformasi desa.
Tanah Bengkok dan Bisnis Jabatan: Mewaspadai Korupsi Berbasis Tradisi
Masalah menjadi lebih kompleks ketika pengelolaan pribadi atas tanah bengkok melahirkan praktik jual beli jabatan. Hal ini telah menjadi rahasia umum di banyak desa. Di Kabupaten Kediri, misalnya, muncul laporan bahwa untuk menjadi perangkat desa, seseorang harus membayar hingga ratusan juta rupiah. "Tarif" ini biasanya disesuaikan dengan luas dan nilai ekonomi tanah bengkok yang akan diterima setelah dilantik.
Praktik semacam ini jelas merusak tatanan demokrasi desa dan menjauhkan rakyat dari pelayanan publik yang bersih. Lebih parah lagi, hal ini membuat jabatan desa diperjuangkan bukan untuk mengabdi, tetapi untuk "balik modal" dari keuntungan tanah bengkok. Jabatan menjadi komoditas, bukan amanah. Dalam jangka panjang, ini akan menimbulkan ketimpangan sosial, kekecewaan warga, dan lumpuhnya tata kelola desa yang sehat.
BUMDes: Jalan Tengah yang Transparan dan Kolektif
Solusi atas persoalan ini tidak bisa hanya melalui moralitas individu, melainkan harus dibangun melalui kelembagaan yang kuat. Di sinilah BUMDes menjadi instrumen penting. Sebagai entitas usaha resmi milik desa, BUMDes dapat mengambil alih pengelolaan tanah bengkok untuk dimanfaatkan secara produktif dan hasilnya dikembalikan kepada masyarakat.
Pengelolaan tanah bengkok oleh BUMDes bisa dilakukan melalui berbagai skema: penyewaan lahan ke petani, dijadikan lahan produktif hortikultura, atau bahkan dikembangkan menjadi agrowisata desa. Keuntungan dari pemanfaatan ini akan masuk ke kas desa dan digunakan untuk pembiayaan program-program publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Dengan begitu, tidak hanya memberantas potensi korupsi, tetapi juga memperkuat keuangan desa secara berkelanjutan.
Lebih dari itu, ketika pengelolaan tanah bengkok tidak lagi menjadi hak eksklusif perangkat desa, maka daya tarik untuk membeli jabatan akan hilang dengan sendirinya. Jabatan desa akan kembali pada marwahnya sebagai panggilan pengabdian, bukan sarana mencari rente.
Contoh Kasus di Kabupaten Kediri
Di Kabupaten Kediri, praktik penyalahgunaan tanah bengkok sudah menjadi perhatian publik. Di beberapa desa, terdapat indikasi penyewaan tanah bengkok kepada pihak luar tanpa melalui mekanisme resmi musyawarah desa. Ada pula kasus di mana penggunaan tanah bengkok memicu konflik antara warga dan aparat desa atau bahkan antara desa dan lembaga negara lain seperti TNI. Semua ini menunjukkan bahwa tanpa tata kelola yang jelas, tanah bengkok rentan menjadi ladang konflik dan penyimpangan.
Namun di sisi lain, terdapat juga desa-desa yang mulai berinovasi dengan memanfaatkan tanah kas desa melalui BUMDes untuk pertanian kolektif dan sewa usaha. Ini menunjukkan bahwa perubahan ke arah pengelolaan profesional bukan hanya mungkin, tetapi sedang berlangsung dan patut didukung.
Rekomendasi: Reformasi Tanah Bengkok Demi Keadilan Sosial
Untuk mewujudkan desa yang bebas dari korupsi dan adil bagi seluruh warganya, penulis merekomendasikan:
1.Reformasi total pengelolaan tanah bengkok: Alihkan seluruh pengelolaan ke BUMDes atau lembaga ekonomi desa lainnya.
2.Integrasi hasil pengelolaan ke dalam APBDes: Semua keuntungan harus dicatat dan dipertanggungjawabkan secara terbuka.
3.Larangan eksplisit penguasaan pribadi: Pemdes perlu membuat peraturan desa (Perdes) yang melarang pengelolaan pribadi atas tanah bengkok.
4.Sosialisasi dan pendidikan hukum desa: Warga perlu diberdayakan agar memahami bahwa tanah bengkok adalah milik desa, bukan individu.
5.Pengawasan partisipatif oleh BPD dan masyarakat: Sistem transparansi harus dibangun melalui laporan berkala yang mudah diakses.
Penutup
Korupsi desa tidak selalu terjadi dalam bentuk besar dan mencolok. Kadang, ia menyelinap dalam bentuk tradisi seperti pengelolaan pribadi tanah bengkok yang dianggap wajar padahal merusak. Dengan menyerahkan pengelolaan tanah bengkok kepada BUMDes, desa bukan hanya menjaga asetnya, tapi juga membebaskan diri dari jebakan bisnis jabatan yang merusak moralitas dan keadilan. Ini adalah langkah konkret menuju desa yang mandiri, bersih, dan berpihak pada rakyat.
Referensi:
UU No. 6/2014 tentang Desa
Permendagri No. 1/2016 tentang Pengelolaan Aset Desa
PP No. 11/2019 (perubahan PP 43/2014);
https://kediripost.co.id/isu-jual-beli-pengisian-perangkat-desa-serentak
https://kediripost.co.id/harga-perangkat-desa-tembus-rp-1-miliar
https://etheses.iainkediri.ac.id:80/id/eprint/2300
skripsi Zakariya, Beni (2020) Pelaksanaan Perjanjian Sewa Menyewa Tanah dalam Prespektif Hukum Islam (Studi Kasus Sewa Tanah Bengkok di Desa Parang Kecamatan Banyakan Kabupaten Kediri).
Jurnal undip Agung Basuki Prasetyo(2018) Mengenal Karakteristik Pengaturan Tanah Bengkok di Indonesia
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI