Peraturan Mahkamah Agung (Perma): mengatur pelaksanaan teknis peradilan dan tata cara administrasi peradilan.
Keputusan Ketua Mahkamah Agung: mengatur kebijakan internal dan pedoman pelaksanaan tugas peradilan di seluruh Indonesia.
Jadi, Mahkamah Agung (MA) merupakan puncak dari kekuasaan kehakiman di Indonesia yang membawahi empat lingkungan peradilan: Umum, Agama, Militer, dan Tata Usaha Negara. Seluruh lembaga ini diatur melalui berbagai undang-undang yang saling berkaitan dan berlandaskan pada prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.
2.) Naskah Akademik dari UU Mahkamah Agung
Naskah akademik Undang-Undang Mahkamah Agung (UU MA) berperan penting sebagai landasan ilmiah dan rasional dalam proses pembentukan undang-undang. Sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, naskah akademik memberikan dasar filosofis, yuridis, dan sosiologis atas kebutuhan perubahan atau pembentukan UU. Dalam konteks UU MA, naskah akademik membantu memastikan bahwa pengaturan tentang lembaga peradilan tertinggi di Indonesia berjalan selaras dengan sistem hukum nasional dan prinsip-prinsip ketatanegaraan. Salah satu kekuatan dari naskah akademik UU MA adalah adanya argumentasi yang komprehensif dan multidimensional, termasuk kajian historis, komparatif, dan empiris yang mempertimbangkan kebutuhan reformasi lembaga peradilan. Selain itu, naskah akademik juga memperhatikan pentingnya harmonisasi dengan peraturan lain seperti UU Kekuasaan Kehakiman dan sistem hukum acara.
Namun demikian, naskah akademik ini juga menghadapi sejumlah kelemahan. Salah satunya adalah keterbatasan dalam memastikan bahwa isi naskah akademik benar-benar diakomodasi dalam rancangan undang-undang yang dibahas dan disahkan oleh legislatif. Dalam praktiknya, sering kali terdapat perbedaan substansial antara naskah akademik dan isi akhir UU, tanpa penjelasan memadai atas perubahan tersebut. Selain itu, kualitas pengumpulan data empiris dalam naskah akademik juga menjadi perhatian, karena kurangnya data lapangan dapat mengurangi akurasi penggambaran masalah dan efektivitas solusi yang ditawarkan. Potensi intervensi politik dan kepentingan tertentu juga bisa memengaruhi objektivitas naskah akademik maupun hasil akhir legislasi.
Agar peran naskah akademik lebih optimal dalam pembentukan UU MA, beberapa rekomendasi perlu diterapkan. Pertama, perlu ada standarisasi metodologi penyusunan naskah akademik agar memuat data yang kuat, termasuk evaluasi dampak regulasi dan uji publik yang representatif. Kedua, keterlibatan pemangku kepentingan dari berbagai sektor seperti hakim, advokat, akademisi, dan masyarakat sipil harus diperluas sejak tahap awal penyusunan. Ketiga, penting untuk menjamin keterkaitan antara isi naskah akademik dan RUU, sehingga perubahan-perubahan dalam proses legislasi dijelaskan secara transparan. Keempat, perlu ada kepastian hukum mengenai posisi naskah akademik agar tidak sekadar menjadi dokumen pelengkap, melainkan acuan utama dalam penilaian normatif. Terakhir, pelaksanaan UU hasil perubahan perlu dievaluasi secara berkala untuk memastikan bahwa norma-norma yang dihasilkan selaras dengan tujuan yang telah dirumuskan dalam naskah akademik. Dengan demikian, naskah akademik UU MA tidak hanya menjadi dokumen teoritis, tetapi juga berfungsi nyata dalam mendukung pembentukan peraturan perundang-undangan yang responsif, akuntabel, dan efektif.
3.) Naskah Akademik dari UU Peradilan Umum
Naskah akademik Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum disusun sebagai penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 yang dianggap belum sepenuhnya mampu menjawab perkembangan kebutuhan hukum dan masyarakat. Latar belakang penyusunannya didasari oleh keinginan untuk memperkuat kedudukan Peradilan Umum sebagai lembaga yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana serta perdata bagi seluruh warga negara tanpa diskriminasi. Secara filosofis, pembentukan undang-undang ini berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945 yang menegaskan pentingnya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Secara yuridis, undang-undang ini merupakan pelaksanaan dari amanat Pasal 24 UUD 1945 tentang kekuasaan kehakiman yang merdeka, sedangkan secara sosiologis, peraturan ini lahir untuk menjawab tuntutan masyarakat akan proses peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Naskah akademik UU Peradilan Umum memuat beberapa pokok pikiran utama, di antaranya penegasan kemandirian kekuasaan kehakiman, pembentukan struktur peradilan yang terdiri atas Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, serta pengawasan Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi. Selain itu, naskah akademik ini menekankan pentingnya profesionalisme hakim dan aparatur peradilan agar dapat memberikan pelayanan hukum yang objektif dan berintegritas. Penggunaan teknologi informasi seperti sistem peradilan elektronik (e-court dan e-litigation) juga menjadi bagian dari modernisasi sistem hukum untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi.
Secara substansi, naskah akademik UU Peradilan Umum mencerminkan semangat untuk menegakkan prinsip rule of law dan menjamin akses keadilan bagi seluruh masyarakat. Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat beberapa tantangan, seperti penumpukan perkara di pengadilan, keterbatasan sumber daya manusia dan sarana prasarana, serta masih rendahnya kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Oleh karena itu, diperlukan pembaruan berkelanjutan dalam sistem peradilan umum agar benar-benar terwujud keadilan yang cepat, sederhana, dan dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.