Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Catatan Menjelang Pencoblosan 10 : Atas Kerudung Bawah Warung

8 April 2014   05:29 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:56 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Judul diatas adalah sebuah judul buku yang ditulis oleh seseorang dari Yogyakarta. Isinya seputar kenyataan perilaku seksual dari sosok yang kelihatan saleh tetapi mengobral auratnya bak warung. Ironi semacam ini adalah hal yang biasa, sama persis ketika kita menemui kasus-kasus korupsi. Banyak penyangkalan yang menyatakan “Tak mungkinlah bapak itu korupsi, bapak itu orang baik, rajin sembahyang, berkotbah dan menjadi pelindung di rumah ibadah yang jemaatnya banyak”.

Musang berbulu domba, begitu perumpamaan yang kita kenal sejak jaman dahulu kala. Perumpamaan ini mengingatkan kita untuk waspada pada gejala atau tampakan yang bersifat symptomatic. Gejala atau tanda yang kelihatan bukanlah jadi diri yang sesungguhnya. Citra memang lebih dibangun dengan tampakan luar, perilaku yang kasat mata yang membuat orang lain menyimpulkan secara positif. Sementara kelakuan busuknya menjadi tersembunyi di balik citra positifnya.

Dari dunia ‘Miss’ kita mengenal istilah brain, beauty and behaviour. Sebuah citra perempuan yang komprehensif, dimana dalam kompetisi itu diharapkan siapapun pemenangnya adalah seorang wanita yang sempurna, karena bukan hanya cantik dan cerdas dari luar melainkan juga memancarkan kecerdasan dan kecantikan dari dalam yang tercermin dalam perilakunya yang tak kalah cantik dan cerdas.

Dunia adalah panggung sandiwara, begitu lagu yang dinyanyikan oleh Ahmad Albar yang diiringi oleh kumpulan gitar rancak-nya. Lagu itu sempurna jika dikaitkan dengan apa yang terjadi dalam dunia politik tanah air. Menjelang pemilu, politik bak panggung sandiwara. Para kandidat peserta pemilu beramai-ramai memajang diri dalam tampilan bak poster film. Para kandidat menampilkan tampilan terbaik, ramah, penuh senyum dan menyatakan akan memperhatikan kepentingan rakyat, menjadi orang kepercayaan rakyat yang amanah.

Sandiwara semakin sempurna dengan tingkat kerajinan para kandidat melakukan silaturahmi, mengunjungi calon konstituen, menebar kebaikan dan bingkisan. Apa yang ditampilkan menjelang pemilu adalah sebuah kesempurnaan dari sosok wakil rakyat. Mau mengunjungi warganya, mengerti penderitaan rakyat, mau mendengar keluh kesah masyarakatnya dan berusaha membantu dengan segera.

Dalam kampanye panggung sesungguhnya dihadirkan. Hinggar bingar kampanye lebih diisi oleh gempita hiburan. Siang bolong massa diajak goyang dengan liukan goyang penyanyi dangdut yang membuat badan semakin cepat berkeringat. Diperlukan mobil pemadam kebakaran di samping panggung untuk menyemprotkan air agar rasa panas mentari dan goyang penyanyi tak membakar tubuh.

Kebaikan ditebar dalam kampanye lewat kupon-kupon yang bisa ditukar dengan paket sembako murah, layanan kesehatan gratis dan kemudian diundi untuk diberi beraneka macam hadiah mulai dari kendaran bermotor, peralatan rumah tangga hingga tiket untuk pergi ke tanah suci. Kampanye bukan menjadi ajang penyampaian visi, misi dan program partai atau kandidat melainkan menjadi perayaan untuk melenakan pemilih dengan sejumlah pemberian yang melenakan.

Kejadian ini terus berulang dari pemilu ke pemilu, rakyat dibuat senang sebelum hari pencoblosan dan kemudian dilupakan setelah kandidat duduk di kursi yang terhormat. Namun bangsa ini dalam urusan politik dan kepemimpinan kerap dijangkiti penyakit mudah lupa, pikunisme. Lupa kalau janji-janji manis itu hanya modus untuk meraih dukungan suara. Dan bukan sebuah pernyataan komitment untuk sungguh-sungguh bekerja demi kesejahteraan warganya.

Bukankah setiap putaran masa kekuasaan selalu ada cerita dan kasus dimana para petinggi yang seharusnya mengabdi kepada rakyat ternyata berlaku kejam. Mengutip dan mengantongi kekayaan dengan cara membuat rakyat membayar lebih mahal dari yang seharusnya. Dari beberapa yang ditangkap dan diadili oleh KPK, kesemuanya adalah orang-orang yang dalam penampilan sehari-hari dikenal baik, bahkan sholeh.

Satu usul dari saya, siapapun yang ditangkap oleh KPK hendaknya diborgol tangannya agar tak bisa melambai-lambaikan tangannya di depan kamera televisi untuk mengirim pesan seolah-olah dirinya tengah di-Dzolimi.

Pondok Wiraguna, 6 April 2014
@yustinus_esha

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun