Mohon tunggu...
Yusril Izha Mahendra
Yusril Izha Mahendra Mohon Tunggu... Dosen - Mahasiswa Ekonomi Pembangunan

Keberanian Itu Mewabah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indonesia Tanpa Rokok? Mengambang Tanpa Tujuan dan Kepastian

12 Desember 2021   17:12 Diperbarui: 12 Desember 2021   17:14 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Iklan majalah AS dari sekitar tahun 1950. Kredit: Granger Historical Picture Archive/Alamy 

Kondisi-kondisi tersebut tentu sangat jauh jika dibandingkan dengan Selandia Baru. Bahkan Indonesia merupakan salah satu negara anggota PBB yang belum menandatangani dan meratifikasi WHO Framework Convention on Tobacco Control (WHO FCTC). Ada beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya tercapai kondisi bebas tanpa asap rokok atau untuk mengilegalkannya.

Pertama, kebijakan yang tidak komprehensif dan konsisten. Beberapa kebijakan yang sudah pemerintah terbitkan terkait upaya untuk menurunkan angka prevalensi perokok yaitu, seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 mengenai Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. PP ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. PP 109 Tahun 2012 ini mengatur mengenai ketentuan iklan, promosi, sponsorship, kemasan produk rokok sampai kepada pengadaan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Namun kebijakan ini tidak juga sukses menurunkan angka prevalensi perokok. Sehingga Pemerintah perlu memperkuat koordinasi dengan pihak-pihak lain di bidang yang berhubungan dengan distribusi dan penjualan rokok untuk memperkuat mekanisme pengawasan dan penegakan hukum.

Kedua, Jumlah tembakau yang melimpah. Seperti diketahui Indonesia adalah salah satu produsen tembakau maupun rokok terbesar di dunia. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, produksi tembakau Indonesia pada 2021 diperkirakan mencapai 261.011 ton. Dilihat lebih dekat Jawa timur merupakan provinsi yang paling banyak memproduksi tembakau, yaitu sebanyak 136.069 ton pada 2020. Kemudian Jawa Tengah dengan produksi sebesar 55.549 ton dan Nusa tenggara Barat sebesar 52.655 ton.

Dengan jumlah yang cukup besar tersebut berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian, total tenaga kerja yang diserap oleh sektor industri rokok sebanyak 5,98  juta  orang, terdiri dari 4,28  juta  adalah  pekerja  disektor  manufaktur dan distribusi, serta sisanya 1,7 juta bekerja di sektor perkebunan. Sehingga jika pada akhirnya rokok dilarang akan menimbulkan dampak yang besar khususnya dalam konteks ini tenaga kerja.

Ketiga, negara yang mengambil keuntungan. Seperti diketahui pengenaan cukai pada sebuah produk  bertujuan Melindungi masyarakat, industri dalam negeri dan kepentingan nasional melalui pengawasan. Tidak berbeda jauh, pada rokok sendiri cukai berfungsi untuk mengendalikan konsumsinya. Namun meskipun demikian negara sebagai penerima cukai juga diuntungkan dalam hal ini. Seperti tahun 2020, penerimaan negara dari cukai hasil tembakau senilai Rp 179,83 triliun pada 2020. Nilai tersebut naik 3,67% dari capaian tahun sebelumnya dan berkontribusi sebesar 96,74% dari total penerimaan cukai negara.

Salah satu cara yang cukup radikal bagi beberapa pihak untuk menurunkan prevalensi merokok adalah dengan meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) itu sendiri. Mengapa demikian? Berdasarkan penelitian yang berjudul Comparison of tobacco import and tobacco control in five countries: lessons learned for Indonesia. Temuan dalam penelitian tersebut selama tahun 1990--2016, produksi dalam negeri dan ekspor relatif stagnan sedangkan impor meningkat pesat. Impor tembakau di Indonesia meningkat drastis hingga mencapai 2,93 kali lipat dari jumlah ekspor tembakau. Hal ini terutama disebabkan oleh ketidakmampuan produksi lokal untuk memenuhi permintaan. Kondisi ini tidak menguntungkan baik bagi petani lokal maupun kesehatan masyarakat, terutama situasi pengendalian tembakau.

Implikasi jika Indonesia meratifikasi FCTC yaitu, akan mempromosikan pajak tembakau yang tinggi, termasuk tarif impor. Tarif impor yang lebih tinggi akan membatasi impor tembakau. Implikasi selanjutnya, FCTC akan mengurangi konsumsi tembakau lokal. Begitu permintaan lokal turun, impor tembakau akan mengikuti karena penurunan permintaan rokok akan menurunkan permintaan daun tembakau. Dengan demikian, permintaan daun tembakau impor juga akan menurun.

Selain dengan meratifikasi FCTC beberapa solusi lainnya adalah dengan membuat dan mempromosikan produk sampingan dari tembakau itu sendiri atau mengganti pertanian tembakau dengan komoditi lainnya yang sesuai dengan kondisi tanah dan menunjang kesejahteraan petani itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun