Mohon tunggu...
Yusril Izha Mahendra
Yusril Izha Mahendra Mohon Tunggu... Dosen - Mahasiswa Ekonomi Pembangunan

Keberanian Itu Mewabah

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Bahasa Lampung: Terasingkan di Rumahnya Sendiri

7 Desember 2021   09:30 Diperbarui: 7 Desember 2021   09:34 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara rinci penduduk Provinsi Lampung hampir 65 persen atau 4.856.924 jiwa adalah etnis Jawa. Penduduk etnis asli Lampung di tanah kelahirannya hanya 13,56 persen atau 1.028.190 jiwa. 

Kelompok etnis ketiga terbesar yang tinggal di Lampung adalah Sunda sebanyak 9,61 persen atau 728.684 jiwa dan disusul etnis dari Sumatra Selatan pada posisi keempat sebesar 5,40 persen atau 409.151 jiwa.

Selain faktor rendahnya etnis asli suku Lampung ada faktor-faktor lainnya yang juga berkontribusi menurunkan penggunaan bahasa Lampung baik secara kualitas maupun kuantitas.

Pertama, ditinjau dari segi pola kebertahanan dan pergeseran. Bahasa Lampung merupakan salah satu bahasa yang memiliki tingkat pemertahanan bahasa yang rendah. Hal ini dapat disebabkan karena sikap bahasa masyarakat penuturnya yang tidak loyal terhadap bahasa daerahnya. Sebuah bahasa daerah yang tidak dapat bersaing dengan bahasa lain dalam daerah yang sama bisa saja mengalami pergeseran dari bahasa yang berada pada ranah Tinggi (ranah agama, pendidikan, pekerjaan) ke bahasa yang berada pada ranah Rendah (ranah keluarga dan persahabatan). Jika bahasa tersebut terus terdesak, maka hal ini bisa saja menjadikannya sebagai bahasa yang sekarat dan pada akhirnya punah (Gunarwan 2006).

Dengan sikap yang tidak loyal terhadap bahasa Lampung oleh penuturnya kemudian seperti diketahui terdapat 5 bahasa daerah lainnya menyebabkan bahasa Lampung sulit bersaing.

Kedua, Tergeser oleh bahasa Indonesia. Faktor ini sebenarnya secara implisit tidak lepas dari pengaruh dimensi sosial politik yang melingkupi kehidupan masyarakat negara ini. Pengaruh bahasa Indonesia sejak lama telah dirasakan oleh berbagai bahasa daerah, yaitu sejak tahun 1928 ketika bahasa Melayu diberi nama bahasa Indonesia dan diikuti pada tahun 1945 menjadi bahasa negara, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 36. Dengan demikian, secara otomatis bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi kenegaraan dan banyak dipakai pada ranah-ranah resmi (formal) seperti misalnya sebagai bahasa pengantar dalam acara-acara kenegaraan dan di lembaga-lembaga pendidikan. Persaingan dengan bahasa Indonesia yang pengaruhnya sangat kuat ini telah menyebabkan bahasa-bahasa daerah mengalami pergeseran (language shift). Bahkan bagi banyak orang Indonesia, bahasa Indonesia telah menjadi bahasa primer sehingga tidak sedikit yang menggunakannya sebagai bahasa pertama, menggeser bahasa daerah (Gunarwan 2006: 96).

Ketiga, Bahasa Lampung hanya diajarkan secara alami. Berbeda dengan bahasa Indonesia dari mulai tingkat sekolah dasar bahkan hingga perguruan tinggi diajarkan secara struktural dan sistematis.

Keempat, anggapan bahwa bahasa daerah memiliki fungsi yang lemah. Era globalisasi sekarang ini yang terjadi dalam berbagai dimensi kehidupan manusia seperti ekonomi, sosial, politik, dan budaya telah mendorong penutur sebuah bahasa untuk secara berhasil dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan penutur bahasa lain yang berasal dari negara lain terutama negara yang berbahasa Inggris.

Persoalan kepunahan Bahasa daerah atau khususnya bahasa Lampungi tentu saja dapat berpengaruh pada kebijakan pemerintah secara nasional yang menghargai keberagaman dan turut memajukan bahasa daerah dalam rangka melestarikan aset kultural bangsa di bidang kebahasaan. 

Apabila proses kepunahan tersebut terus saja berlangsung tanpa ada usaha untuk dipertahankan dan didokumentasikan, maka kita akan kehilangan aset kultural yang sangat berharga bagi bangsa ini karena bahasa merupakan realitas budaya penutur sebuah bahasa. 

Selain itu, punahnya sebuah bahasa daerah dapat "mengubur" pula semua nilai-nilai budaya yang tersimpan dalam bahasa itu, kecuali apabila bahasa tersebut telah didokumentasikan dan ditransmisikan kepada orang lain sehingga nilainilai budaya yang bermanfaat dapat digunakan untuk kepentingan bersama.

Oleh karena itu, untuk mengantisipasi fenomena kepunahan bahasa perlu dilakukan berbagai upaya cerdas dan serius. Hal ini tidak saja dapat dilakukan oleh pihak pemerintah, tetapi juga oleh komunitas etnik penutur bahasa tersebut dengan cara tetap menjaga loyalitasnya kepada bahasa daerahnya sendiri agar tetap tinggi sehingga tidak terjadi pergeseran bahasa yang pada akhirnya dapat menjurus kepada kepunahan. 

Di samping berbagai upaya pendokumentasian, kajiankajian dalam berbagai perspektif, dan bahkan upaya-upaya revitalisasi terhadap bahasa-bahasa yang berada dalam proses kepunahan maka usaha menjadikan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang multilingual barangkali perlu dipikirkan secara lebih serius. 

Artinya, masyarakat diharapkan dapat menguasai sekaligus tiga bahasa yaitu bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan internasional, dan bahasa etniknya sendiri dalam rangka melestarikan bahasa dan budaya daerahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun