Mohon tunggu...
Yusmar Yusuf
Yusmar Yusuf Mohon Tunggu... Dosen - Budayawan

Guru Besar Kajian Melayu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Imlek

4 Februari 2014   16:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:10 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Perayaan duniawi dengan visi spiritualitas. Berawal mitos dan mengalir menjadi logos. Dia sebuah perayaan musim bunga (Chunjie). Namun perayaan ini amat simbolik. Sebenarnya adalah perayaan pergantian tahun baru kalender pertanian (Nongli Xinnian, dalam ejaan Pin Yin). ‘’Selamat dan moga murah rezeki’’ (Gongxi facai, Kung hei fat choi, Kiong hi huat cai atau Kiong hi fat choi) dalam beberapa dialek; Mandarin, Kanton, Hokkien dan Hakka. Ini jenis salam tahun baru qamariah (lunar) versi peradaban Asia Timur. Salam ini juga sebagai penanda pergantian tahun ‘’pencarian rezeki’’. Sebuah asa, susunan ekspektasi atau harap tentang masa depan yang lebih cerah gemintang.

Perayaan duniawi dengan makna-makna eksistensial. Perayaan eksistensial yang menggiring seperangkat tabiat dan perilaku yang diterjemah dari perilaku makro (alam). Sehingga Imlek ialah sejumlah ‘’tarikat’’ (jalan) mengenal perilaku alam; tentang bunga-bunga, angin, hujan, badai, laut nan tenang sampai sifat laut yang bergolak, tentang gunung, lembah, ngarai, sungai yang mengalir, yang berhubungan dengan pencarian manusia untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari (sebuah jalan nafkah) demi penyelamatan anggota keluarga, klan, suku dan bangsa. Ujung dari penyelamatan itu adalah eksistensi kebudayaan dan peradaban. Jalan nafkah terawal dan tersusun mengikut lekuk liuk iklim dan tabiat alam itu adalah pertanian. Dan berdentumlah peradaban tani dengan visi duniawi.

Kunci dasar dari peradaban tani adalah irigasi. Sebuah teknologi pengaturan air yang menyejahtera bagi semua. Di sini komunal ialah sejumlah ‘halakah’ yang berdepan dengan kepentingan yang satu: air dan distribusi air. Maka, waduk diempang, sungai disambung dalam garis jari-jari pendek dengan batang air berdekatan dan menjadi kanal. Mata air dan batang air dicangkok dengan batang air yang berdekatan, malah bercangkok dengan batang-batang air nan berjarak nun. Inilah visi logos yang dipikul oleh penanggalan qamariah (Bulan atau Lunar) versi peradaban Timur. Jangan heran ketika orang menyebut Tiongkok, lalu disandingkan dengan sejumlah alamat serba besar: negeri besar, jumlah orang besar, tembok-tembok besar, simpang besar, kota-kota besar, lahan tani besar, jalur lintas transportasi besar dan mega, kampung-kampung dengan diameter besar, waduk besar. Mereka memang disadarkan untuk menjadi besar di atas bumi ini. Karena dengan kebesaran itulah mereka dengan tenang meninggalkan dunia ini kelak, dan kebesaran ini akan menjadi pembebas para roh leluhur mereka di alam sana (visi mitos dan spiritualitas).

Maka, Imlek adalah seperangkat logos tentang tani dan bertani. Tentang cangkul dan sebidang lahan (mengubah land menjadi soil). Jika land (lahan tanah sebagai bentangan), dia tak memiliki daya hidup. Namun dia harus diolah menuju soil (dengan daya hidup hara dan humus). Dengan soil, manusia bisa mengubah batu menjadi bunga. Dengan hara dan humus yang kaya, manusia menyulap coklat jadi hijau. Di atas bebatuan merecup bunga merekah. Di atas tanah ‘’mati kera’’ berwarna coklat, terhampar tanaman hijau, tempat hinggap mata. Di atas kehijauan yang terhampar beragam kepakaran hinggap dan menemu: tradisi pengobatan berbasis herbal. Saban pagi, kucing meliuk dari tidur langsung meloncat ke bentang hijau, lalu mencolet dedaunan di ladang depan rumah, dan sang tabib memperhati dengan saksama. Apa jenis tanaman yang diragut kucing pada kali perdana dia bangkit dari tidur di pagi hari. Inilah salah satu basis pengobatan herbal tradisi Tiongkok yang wangi hingga kini.

Tani adalah laboratorium segala hal dan ihwal. Tani bukan ‘’sesuatu’’. Tani mengisahkan berlaksa-laksa hal-ihwal. Laboratorium pengobatan timur, laboratorium merangkap arboretum, sekaligus sanatorium bagi mereka yang mengidap TBC, dia menjadi ‘’kampung’’ raksasa yang membangun kesadaran tentang sehat dan hidup sehat. Lalu membentuk gaya hidup, pola makan, yang menjadi paku dan rukun untuk menjaga kesehatan dan usia yang panjang. Usia panjang dan sehat ialah hasil dari usaha yang terukur. Terutama terukur secara imanen; bagaimana keramahan manusia menyapa makhluk-makhluk seperti tanaman, membelai tanaman, berkebun dengan cara menyentuh sejumlah tanaman. Sentuhan-sentuhan ini memberi daya listrik kembali kepada yang menyentuh dan yang disentuh (alias saling bersiram) dan memberi daya vitalitas. Berkebun bagi para sufi; ialah jalan terbaik mengenal kehidupan yang komplet. Maka, bangunlah rumah di dalam kebun, di tengah kebun.

Visi dasar mitos Imlek berkait dengan sosok raksasa pemangsa manusia bernama Nian. Sosok yang menakutkan. Di sini kecemasan menjadi pemicu bangkitnya kebudayaan besar. Dalam cemas dan gamang orang jadi pemberani. Dalam cemas dan gayang, manusia menyambung-nyambung akal untuk berinteraksi dengan penampakan ilahiah (theofany) sekaligus bercanda dengan segala ihwal menggetarkan (tremendum). Maka, manusia pun menyusun ‘tanda-tanda suci’ lewat sejumlah ritus menjinak; mencari pengganti suguhan untuk sang jembalang gigantis bernama Nian. Korban manusia sejak Habil dan Ismail, menjadi sambungan cerita dalam kisah peradaban timur dan diganti dengan hasil-hasil tani, hasil bumi. Di sini Imlek berada di antara dua kegamangan: beralih dari mitos dan mulai menyapa logos.

Untuk keluar dari lingkaran ‘’setan’’ mitos, manusia harus menyusun sejumlah akal komunal dan senantiasa berdialog dengan alam, dengan tanah dan mengolahnya melalui edaran musim yang meliar dan menjinak. Ketika meliar, manusia harus menjinak akal. Ketika alam menjinak, akal liar harus dirawat untuk memberi daya hidup kepada bumi yang tengah jinak. Begitulah tolak-menolak dan tarik-menarik antara akal manusia dan alam. Dari susunan interaksi dan sejumlah pengulangan-pengulangan yang teratur, manusia mengatur waktu, menjadual penanggalan (tarikh) sehingga pengulangan perilaku jinak dan liar itu terlembaga dalam satu perilaku yang disebut sebagai kebudayaan. Lama-kelamaan kebudayaan yang tersusun ini menjelma sebagai peradaban gergasi yang disegani hingga kini. Kisah kebudayaan dan peradaban bukan ihwal klaim sepihak. Tapi, sebuah jalan panjang tentang dialog dan menerjang...***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun