"Tadi waktu pulang sekolah, Tresno lihat foto bapak dipasang di balai desa. Ada foto bapaknya Basuki sama Pak Tukiran juga. Di atasnya ditulis PILKADES. Kirain bapak mau jadi artis Bu," ucapku polos.
Ibu tertawa. Beliau bilang, bapak memang dicalonkan sebagai kepala desa. Itu sebabnya foto bapak dipajang bersama dua kandidat lainnya.
"Pilkades itu kayak lomba ya, Bu?" Aku kembali bertanya. Ibu terdiam sejenak, kemudian mengangguk sembari tersenyum. Mungkin beliau kebingungan memilih kata-kata yang tepat untuk dapat membuat bocah delapan tahun sepertiku ini mengerti.
Penjelasan dari ibu tentang Pilkades tak mengurangi kebingunganku, aku tetap tak paham mengapa bapak harus ikut mencalonkan diri. Yang aku tahu sejak saat itu rumah kami selalu ramai dikunjungi oleh warga maupun orang-orang yang sama sekali tidak pernah aku kenal. Terkadang orang berseragam pemerintahan yang datang. Ibu tak henti membuatkan kopi. Seperti pada malam ini.
Mamas sedang asyik mengerjakan PR sementara aku yang sedang belajar membaca mendengar beberapa orang sedang berbincang dengan bapak.Â
Suara sendok yang bersenggolan dengan gelas dari dapur menandakan bahwa ibu sedang membuat kopi. Â Aku mengintip dari sela pintu kamar. Di sana ada Pak Kades yang lama dan dua orang yang beberapa hari lalu juga bertandang ke rumah kami.
"Bapak tenang saja, kami yakin Bapak pasti menang. Kami pasti bantu, semuanya akan lancar-lancar saja. Asalkan nanti Bapak juga bantu kami," ujar salah seorang yang berkacamata.
"Tresno, jangan nguping pembicaraan orang tua. Ayo sini teruskan belajarnya, kamu kan masih ngeja bacanya." Mamas membuyarkan konsentrasiku yang ingin sekali mendengar percakapan di ruang depan.
"Mas, bapak kenapa ikut pilkades?" tanyaku.
"Udah ndak usah ngurusin urusan orang gede, tugas kamu cuma belajar, belajar dan belajar. Sini coba mamas mau dengar kamu baca satu paragraf ini." mamas menyodorkan buku Lancar Membaca kepadaku. Bahkan mamas pun enggan memberikan penjelasan padaku perihal alasan bapak ikut 'lomba' itu.
Waktu penentuan pemenang 'lomba' pun tiba. Siang itu aku sedang berbaring di depan televisi menonton kartun favoritku ketika ibu dengan terengah-engah pulang ke rumah. Beliau ke dapur mengambil segelas air dan meneguknya hingga habis.