"Ndak tahu ya, Bas," ucapku sambil memandangi tulisan yang terpampang di atas foto bapakku, bapak Basuki, dan Pak Tukiran.
P-I, pi, L, pil. K-A, ka, D-E, de, S, des. PIL-KA-DES. Kami mengeja tulisan itu bersama-sama seraya mengerutkan kening.
"Pilkades itu apa, No?" Yono kembali menanyaiku. Aku menggeleng, begitu pula dengan Basuki.
"Mungkin bapakmu dan bapaknya Basuki mau dijadikan artis, No." Yono kembali berseloroh. Kami tertawa dan pulang ke rumah dengan satu pertanyaan yang akan kami tanyakan pada orangtua kami masing-masing: apa itu pilkades?
Ibu sedang mencuci piring ketika aku tiba di rumah. Di atas meja makan ada beberapa kantong plastik hitam berisi bahan nasi uduk untuk dijual besok. Aku mencopot seragam putih merahku dan menaruhnya di ember pakaian kotor.
"Udah pulang, Le?" tanya ibu sembari mengeringkan tangannya.
"Sudah, Bu," aku menjawab singkat.
"Laper? Ibu udah masak sayur lodeh kesukaan kamu dan mamas. Makan dulu," lanjut beliau.
"Nanti saja Bu, tunggu mamas pulang. Tresno belom laper." Ibuku tersenyum, beliau mengeluarkan sayuran dan tempe dari dalam plastik dan mulai menyianginya. Aku ikut duduk di dekat ibu.
"Bu, pilkades itu apa?" tanyaku, tak dapat lagi kupendam rasa penasaranku.
"Pilkades itu singkatan dari pemilihan kepala desa Le, kenapa tiba-tiba tanya?" Ibu masih tampak sibuk.