Mohon tunggu...
Yusi Kurniati
Yusi Kurniati Mohon Tunggu... Penulis dan penikmat sastra

Penulis novel Ayam Goreng Gadamala & Pria Berkacamata (2021), Pacar Dunia Maya (2016), Kumpulan cerpen Sepenggal Kisah (2016), dan kontributor dalam 45 antologi cerpen dan fiksimini. Alumnus S2 Pendidikan Bahasa Universitas Negeri Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dialog Awan

11 September 2020   15:07 Diperbarui: 11 September 2020   15:17 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Stadion Baning Sintang sudah tampak ramai meski waktu baru menunjukkan pukul 15.40 WIB. Area stadion ini memang dimanfaatkan warganya untuk berolah raga atau pun berlatih menyetir. Sore ini tampak beberapa orang sedang berlari kecil, ada pula yang sekadar berjalan kaki. Beberapa bahkan bercucuran keringat dan tampak lelah. 

Hari ini suhu udara Sintang berkisar antara 33 sampai 35 derajat celsius. Matahari tampak sedang senang-senangnya memancarkan sinarnya. Seolah ingin sekali menunjukkan kuasanya. Awan berarak bersama-sama tertiup angin. Terkadang mendekat terkadang menjauh ke matahari. Sesekali awan hendak menutupi sinar mentari yang teriknya luar biasa. 

“Hei! Minggir! Jangan halangi sinarku!” mentari bersuara lantang.

“Tapi sinarmu hari ini terlalu terik, kasian mereka. Coba lihat mereka kepanasan,” ucap awan I sembari menatap beberapa orang yang sedang berolah raga mengelilingi stadion dengan terengah-engah.

“Aku tidak mau tahu! Kau tahu bahwa akulah rajanya, jadi jangan coba-coba halangi sinarku! Biar penduduk bumi merasakan teriknya hari ini. Dan aku tak akan mengurangi sinarku sampai senja berlalu nanti,” ucap mentari angkuh. Dengan kasarnya dia mengusir awan yang mendekat. Awan pun menjauh, tak ingin dia terlibat pertengkaran dengan sang raja siang itu. 

Awan II mendekat ke arah awan I dan mereka pun berbincang. 

“Dia memarahimu?” tanya awan II. Awan I mengangguk.

“Angkuh sekali dia,” lanjut awan II.

“Aku kasihan sekali dengan penduduk bumi, lihat wanita yang mengenakan jaket merah, wajahnya semerah jaketnya. Aku takut kalau-kalau dia pingsan nantinya,” ucap awan I. Awan II memperhatikan wanita yang tengah dibicarakan oleh awan I, ia pun turut iba. 

“Bagaimana kalau kita bergerak ke atasnya dan melindunginya dari sinar si mentari yang terik ini,” awan II memberikan usul.

“Aku setuju dengan usulmu, ayo kita bergerak,” sambut awan I. Mereka pun mulai bergerak ke atas wanita berjaket merah tadi dan hendak melindunginya dari teriknya mentari. Sejenak sang wanita tersenyum karena awan bergerombol melindunginya dari sinar matahari yang mematikan itu. 

“Hei! Apa yang kalian lakukan? Menjauhlah darinya! Kalian hanya menghalangi sinarku saja! Menjauh! Cepat!” mentari berteriak pada awan.

“Tapi kami tak tega melihat wanita itu kepanasan dan hampir pingsan,” ucap awan I bergetar.

“Beraninya kamu membantah perkataanku?! Kamu lupa bahwa akulah raja di sini? Menyingkir!” mentari murka, ia memancarkan sinar yang lebih terik. Awan tak berani membantah. Mereka kembali menjauh dengan sedih. Karena sinar mentari yang semakin terik, orang yang berolah raga pun banyak yang berhenti dan beristirahat. Namun, seorang wanita berjaket merah tidak menyerah, dia terus saja berjalan cepat meski keringat mengalir deras di wajahnya. 

“Sudah Bu, berhenti saja. Nanti ibu pingsan,” awan I mencoba memberitahu wanita itu meski wanita itu takkan bisa mendengarnya. Awan III mendekati awan I dan berbisik,

“Aku tahu caranya agar si mentari kena batunya,” ucap awan III.

“Bagaimana caranya?” awan I penasaran.

“Aku akan mengumpulkan massa, akan kuajak awan dari ujung timur ke ujung barat sana untuk berkumpul di sini. Kita akan berkumpul bersama menutupi mentari, lalu kita akan menangis bersama agar mentari tak bisa memarahi kita. Bagaimana menurutmu?” awan III memberikan usul.

“Apa kamu yakin awan yang lain akan mau mengikuti rencana kita? Bukankah mereka takut pada mentari?” awan I masih ragu.

“Kau lupa siapa aku? Apa pun bisa aku lakukan, tenang saja. Mereka akan menurut padaku, lihat saja nanti. Kalau kau setuju, kau ajak awan II dan tunggu di sini, alihkan perhatian mentari agar dia tidak menyadari bahwa aku sedang mengumpulkan massa,” lanjut awan III.

“Bagaimana caranya mengalihkan perhatian mentari?” tanya awan I lagi.

“Ya ampun, hal kecil seperti itu apa harus kuberi tahu juga? Mikir dong,” awan III tampak kesal karena awan I terlalu lama berpikir.

“Tidak perlu, aku tahu caranya,” awan II yang ternyata mendengar percakapan mereka ikut bicara.

“Kau pergi saja kumpulkan massa, aku dan awan I akan mengalihkan perhatian mentari,” ujar awan II. Awan III mengangguk dan berlalu. Mentari menatap curiga pada tiga gumpalan awan yang bercakap seraya berbisik itu. Dia ingin sekali tahu apa yang sedang mereka bicarakan tapi suara mereka terlalu pelan. 

“Bagaimana caranya kita mengalihkan perhatian mentari?” awan I berbisik.

“Kita akan menutupi sinarnya,” jawab awan II santai.

“Kamu gila? Kita akan diomeli mentari nantinya,” awan I tampak takut.

“Tenang saja, kita takkan musnah hanya karena dimarahi olehnya. Kita harus mengalihkan perhatiannya agar dia tak menyadari kedatangan awan lain,” awan II menarik paksa awan I. Awan I terpaksa menurut. Mereka menghalangi sinar mentari yang semakin terik itu. 

“Hei! Minggir!” teriak mentari.

“Tutup kupingmu, jangan terpengaruh,” bisik awan II pada awan I. Awan I mengangguk meski tampak takut. Mereka menjauh sejenak, tak lama kemudian kembali menutupi sinar mentari. Mentari mengomel sembari mengumpat lagi. Awan berarak menjauh lalu mendekat lagi. Mentari kesal dibuatnya.

“Kalian sudah gila? Tidak mendengar perkataanku?!” teriak mentari. Awan menjauh sejenak, mentari kembali senyap meski masih tampak kesal. Ia tak menyadari jika dari arah barat dan timur sekelompok awan mendekat dan membentuk kumpulan besar. Awan itu berwarna gelap, makin lama makin gelap. Mereka tak hanya datang sendiri tapi ditemani suara guntur dan kilat yang menyambar. Awan III bersiap memberi aba-aba. 

“Satu, dua, tiga!” ujar awan III. Dan secara serentak awan menangis bersama-sama, turunlah hujan lebat. Panas yang terik seketika berubah menjadi hujan lebat. Orang-orang berlarian mencari tempat berteduh. 

“Kurang ajar kalian! Bisa-bisanya kalian menangis di saat seperti ini?” mentari murka. Ia ingin kembali memancarkan sinarnya. Namun, sayang waktunya telah habis. Mentari pun perlahan-lahan hilang di ufuk barat. Awan-awan tertawa gembira, mereka berhasil mengalahkan mentari yang angkuh itu. 

TAMAT

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun