Mohon tunggu...
Akhmad Faishal
Akhmad Faishal Mohon Tunggu... Administrasi - Suka nonton Film (Streaming)

Seorang pembaca buku sastra (dan suasana sekitar) yang masih amatiran.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Buku Bacaan Wajib bagi Para Siswa-siswi SD di Seluruh Indonesia

26 Oktober 2017   11:17 Diperbarui: 26 Oktober 2017   13:09 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

AS Laksana membuat saya bersedih karena selalu menjunjung tinggi buku yang berjudul Kalevala akhir-akhir ini dalam kolomnya. Ada kemungkinan, dia berniat memberikan inspirasi bagi pemegang kebijakan pendidikan agar belajar tentang isi inspiratif dalam buku tersebut. Tulisannya yang hampir setiap minggu di publish di media berita cetak maupun online, seperti propaganda G 30 S agar kita mengambil bahwasanya bagaimana menyatukan dan menggambarkan keseluruhan Indonesia dalam satu buku saja.

Kalevala sangat dikenal oleh orang-orang Finlandia (menurut tulisannya), setiap dia bertanya kepada orang-orang tak dikenal selalu menanyakan Kalevala. Dan jawaban setiap orang yang ditemuinya sama, 'Saya tahu' dan 'itu cerita tentang kami'. Tentu sangat menggembirakan bahwa dalam sebuah buku tersimpan keindahan dan kehangatan yang bercerita 'Ini lho, kami'.

Namun, di Indonesia yang disajikan hanya cerita-cerita keji dan yang paling parah ialah tontonan film tentang G 30 S. Penjelasan tentang G 30 S masih saja menjadi perdebatan dan memutus kesimpulan bahwa PKI salah dan TNI benar. Tergambar dalam sebuah kekejian dan pembantaian berjuta-juta orang eks PKI yang dianggap sebagai kebanggaan karena menumpas penyakit yang ingin mengganti ideologi bangsa.

Jelas, itu bukan suatu kebanggaan, bagaimana mungkin bangga dengan cara membunuh orang. Banyak dari mereka yang masih berstatus terduga. Dan masyarakat tidak mau ambil pusing dengan menerima mentah-mentah kesimpulannya. Jika Finlandia memiliki buku Kalevala, maka Indonesia memiliki film G 30 S dan jika orang-orang dari luar negeri bertanya tentang Kalevala (seperti AS Laksana) jawabannya akan terdengar berbeda ketika bertanya tentang G 30 S atau Gestapu.

Jika Kalevala menceritakan tentang semangat kepahlawanan maka G 30 S menceritakan tentang pembantaian PKI (atau yang terduga PKI). Hal ini mengakibatkan efek dalam proses kehidupan ke depan. Mengapa orang-orang Finlandia dapat lebih baik daripada orang-orang Indonesia? perbandingan ini dimaksudkan karena sudah ada selentingan, bahwa orang-orang Finlandia mengaplikasikan dengan baik prinsip belajar ala Ki Hajar Dewantara, Taman Siswa.

Bahwa sekolah itu menyenangkan, tidak membebani guru maupun murid. Ada ide saya, yakni membuat buku standar dasar belajar. Mulai dari kelas satu sampai dengan kelas tiga, dengan waktu belajar yang sampai makan siang, diharuskan membaca dan mempelajari tentang para pahlawan. Mulai dari Aceh hingga merauke, beserta kebudayaan yang dibuat semenarik mungkin seperti sebuah novel. Dan membuat peraturan agar novel yang seperti itu dibaca oleh seluruh murid dari kelas satu sampai kelas tiga seluruh Indonesia. di luar itu, aktivitas kegiatan belajar membaca dan inspirasi, diperbolehkan siswa-siswi untuk ikut kegiatan ekstrakulikuler sesuai bakat dan minatnya.

Dengan harapan, bahwa nantinya orang-orang ketika bertanya tak melulu yang dikenal ialah peristiwa kelam seperti G 30 S. Akibat peristiwa kelam semacam itu, kehidupan rakyat menciptakan suatu ilusi tentang hantu, kita mengenal pocong, genderuwo, kuntilanak dan lain sebagainya sebagai bentuk budaya. Tapi, orang-orang di Eropa, seperti pengarang novel Frankeistein hanya meletakkannya sebagai seni, sebagaimana Halloween.

Akibatnya tentu tidak sampai disitu, pembelajaran yang ditangkap dalam buku-buku sejarah di Indonesia ialah pemberontakan, pembunuhan dan pertikaian kepentingan sesama kelompok. Masih ingat bagaimana konstituante dibubarkan oleh Presiden Soekarno melalui dekrit presiden 1959? Karena dianggap demokrasi parlementer dianggap gagal (walau berhasil di Inggris). Akibat ingin menguasai satu sama lain.

Saya ingin mengutip tulisan Buya Syafi'i Ma'arif dalam kolom resonansinya di Republika (10/10), beliau menulis "Kita semua mesti percaya bahwa seni dan sastra punya kemampuan untuk menjinakkan politik kekuasaan yang brutal sekalipun". Dengan buku standar dasar belajar berbentuk karya Sastra yang mirip dengan Kalevala, kebanggaan akan pembantaian dan kekejian dalam mengumbar kebenaran tunggal dapat direduksi.

Sudah terlalu lama Indonesia bertingkah layaknya ada musuh dalam selimut. Memikirkan keuntungan pribadi (politik) dengan mengorbankan kepentingan umum yang masih sangat awam. Bagaimana mau menciptakan ketentraman dan keamanan serta kedamaian, jika fondasi dasar pendidikan yang dibangun tidak ada? Buku-buku sekolah tak dapat dijadikan referensi dalam kepenulisan ilmiah.

Pada perkembangan yang diharapkan dengan fondasi dasar yang demikian itu, siswa-siswi yang bersekolah dapat mempelajari tentang buku-buku yang menjadi landasan pemikirannya. Misal, ketika sekolah SMA, kita hanya belajar sedikit tentang rangkuman peristiwa retaknya hubungan Soekarno dan Hatta, namun kita belajar lumayan dalam dengan membaca buku Demokrasi Kita yang ditulis oleh Moh. Hatta. Atau menyelami pemikiran Soekarno ketika semester dua kelas X melalui buku Penyambung Lidah Rakyat yang ditulis oleh Cindy Adams. Bahwa sekolah tak perlu sampai sore, karena setelah jam makan siang hanya kegiatan dalam bentuk ekstra kulikuler. Dan ini merupakan perkembangan lanjutannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun