Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Merasa Kalah Pilpres Tolak Bayar Pajak, Apa Kata Dunia?

17 Mei 2019   09:58 Diperbarui: 17 Mei 2019   15:29 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika menyimak pemberitaan dari Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arif Puyouno yang menolak bayar pajak karena merasa hasil perhitungan suara di Pilpres 2019 ada kecurangan, benar-benar menggelikan dan membuat saya ketawa terbahak-bahak.

Jadi teringat slogan yang dipopulerkan oleh kantor Dirjen Pajak Departemen Keuangan sekitar 10 tahun yang lalu dengan ungkapan "Apa Kata Dunia". Slogan ini menjadi sangat popular untuk mendorong dan meningkatkan kesadaran warga negara agar bayar pajak. Dan kalau tidak bayar pajak itu perbuatan yang sangat memalukan. Jadi, apa kata dunia!

Pasangan slogan ini lalu bermacam-macam, walaupun banyak yang mempelesetkannya, misalnya :

  • Hari gini tidak bayar pajak, apa kata dunia?
  • Mau bayar pajak kok repot, apa kata dunia?
  • Punya penghasilan tak punya NPWP, apa kata dunia?
  • Ngemplang pajak, apa kata akherat?

Slogan ini sangat berhasil untuk memorikan kesadaran kewajiban membayar pajak bagi setiap warga negara yang baik dan benar serta bertanggungjawab dan beriman sekaligus.

Tetapi mengajak rakyat untuk tidak membayar pajak hanya karena gara-gara kalah dalam Pilpres 2019, menggelikan habis-habisan dan sulit sekali untuk mencari hubungan yang rasional untuk membenarkan alasan ajakan dari Arif Puyouno ini.

"Kalah di dalam Pemilu dan Pilpres 2019 maka  tolak bayar pajak, apa kata dunia?". Pilpres satu soal dan satu urusan, lalu soal bayar pajak itu urusan lainnya. Pemilu diatur dengan Undang-undangnya sendiri, bayar pajak juga diluruskan dengan Undang-undang tersendiri. Lalu, ya, tidak nyambung saja!

Semua orang juga faham dan sadar, bukan saja hanya warga negara republik ini, tetapi semua warga negara diseluruh jagad raya ini, bahwa membayar pajak itu merupakan kewajiban dari setiap warga negara kepada negara. 

Negara akan menerima pajak dari warganya dan negara akan menggunakan hasil pajak itu untuk biaya mengelola negara itu sendiri. Serta membiayai segala macam kepatuhan pemerintah agar negara itu semakin maju dan berkembang.

Lihat saja APBN itu, sumber pendapatannya yang utama dari pajak atau fiskal. Lalu dibagi dua saja, pendapatan bersumber dari pajak/fiskal dan non fiskal. Kemudian, dengan begitu kemajuan suatu negara akan sangat tergantung dari sumber utamanya yaitu pajak dari warganya. 

Kalau kebutuhannya lebih kecil dari pendapatan yang diperoleh dari pajak warga negaranya, berarti bangsa itu mandiri adanya karena tidak perlu lagi mencari hutang yang membebani dengan bunga dan biaya kapitalnya.

Seperti semua faham, di negara-negara sangat maju, seperti AS dan negara-negara Eropa saja, apabila ketahun ada warga negaranya yang menyimpang dan menyembunyikan pajak pendapatannya maka sanksinya sangatlah berat. Bahkan dianggap kejahatan kepada negara itu sendiri. Para pimpinan yang ketahuan ngemplang pajak akan sangat memalukan sehingga mereka tidak berani lagi menjadi figur publik.

Beberapa tahun terakhir ini, terutama di era Menteri Keuangan Sri Mulyani pemasukan negara dari sisi pajak luar biasa, bahkan tahun anggaran yang lalu penerimaannya melebihi dari target yang sudah ditetapkan. Semua itu dicapai karena reformasi yang terus di lakukan oleh Departemen Keuangan Indonesia.

Kembali kepada ajakan Wakil ketua umum Partai Gerinda, yang akan mengajak masyarakat untuk menolak bayar pajak karena dianggap terdapat kecurangan dalam penyelenggaraan Pemilu, khususnya Pilpres 2019.

Melalui pemberitaan di kompas.com di catat sejumlah narasi yang disampaikan oleh Arif Pujouno yang nampaknya menyimpang terlalu jauh dan perlu dicermati karena kalau ini menjadi gerakan, akan merusak tatanan yang sudah di bangun selama ini.

Pendukung Prabowo-Sandiaga, kata Arief, juga tidak perlu mengakui pemerintah yang terbentuk pada periode 2019-2024.

"Tolak bayar pajak kepada pemerintahan hasil Pilpres 2019 yang dihasilkan oleh KPU yang tidak legitimate itu adalah hak masyarakat karena tidak mengakui pemerintahan hasil Pilpres 2019," kata Arief.

Ajakan yang disampaikan ini sungguh-sungguh seperti orang yang sedang "ngelindur" saja. Karena hasil Pilpres dan Pemilu 2019 saja belum selesai dihitung oleh KPU dari RC nya. Yang direncanakan akan diumumkan pada Rabu 22 Mei 2019. Kemudian, bagaimana mungkin Arif Pujouno ini mengatakan ada kecurangan dan tidak sah. Lalu, buru-buru mengajak rame-rame tak bayar nanti kalau Presiden terpilih bukan Capres 02.

Karena tidak ada  logis jalan pikirannya, maka kemungkinan narasi itu hanya halunisasi saja sebelum segala sesuatu dituntaskan secara hukum. Kalau masalah kecurangan dan tidak hasil pemilu, Undang-undang mengatur itu melalui jalur Mahkamah Konstitusi. Tapi, prosesnya tentu setelah ada pengumuman dari KPU.

Jadi, karena Arif Pujouno memperkirakan Capres 02 kalah menduduki kursi RI-1 periode 2019-2024, maka berdasarkan perkiraan itu mengambil keputusan untuk ajak tolak bayar pajak. 

Bangun, bangun, bangunnnn...."Apa kata dunia?"

YupG., 17 Mei 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun