Mohon tunggu...
Dr. Yupiter Gulo
Dr. Yupiter Gulo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, peneliti, instruktur dan penulis

|Belajar, Mengajar dan Menulis mengantar Pikiran dan Hati selalu Baru dan Segar|

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hari Anak Nasional 2018, Antara Orangtua, Gawai, dan Anak

28 Juli 2018   17:02 Diperbarui: 28 Juli 2018   17:27 916
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Anak Nasional 2018, Antara Orangtua, Gawai dan Anak

Peringatan HAN atau Hari Anak Nasional Senin 23 Juli 2018 baru saja berlalu. Tidak terlalu menggemparkan dibandingkan dengan hiruk pikuknya proses "colek caleg" yang terus bergulir dengan masuknya para selebritis dan para mantan napi menjadi calon legislatif. Kemeriahan perayaan HAN juga tenggelam dengan berita siapa yang akan menjadi pendamping Jokowi dan Prabowo sebagai calon presiden 2019.

Puncak perayaan HAN yang dipusatkan di Kebun Raya Purwodadi, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, dihadiri oleh 3000 anak. Namun tidak dihadiri oleh Presiden RI, bahkan pidato yang dikirim melalui videopun tidak ada sesuatu yang menggetarkan sebagai wujud perhatian bagi masalah anak di Indonesia.   Jokowi hanya berpesan agar anak-anak Indonesia lebih rajin belajar, bermain, dan juga berolahraga. "Saya titip jangan lupa untuk terus belajar. Tapi juga jangan lupa bermain dengan teman-teman agar semua bergembira dan senang. Jangan lupa berolahraga biar sehat".

Apakah betul tidak masalah yang serius dan mendasar tentang anak Indonesia? Apakah masih ada hal penting yang masih tersisa dari perayaan HAN 2018? Nampaknya, yang masih terus menjadi pembicaraan hangat adalah tentang "gawai" dan anak-anak. Harian Umum Kompas cetak saja menurunkan berita utamanya pada Selasa 24 Juli 2018 dengan judul "Batasi Gawai pada Anak". Berita ini menjadi menarik karena sekaligus menyajikan hasil survey tentang "jajak pendapat mencegah kecanduan gawai" yang dilakukan tanggal 18-19 Juli 2018.

Bagi saya menjadi menarik jajak pendapat yang dilakukan di 16 kota besar di Indonesia dengan 685 responden dengan kesimppulan bahwa "ada sikap permisif terhadap gawai dalam keluarga". 

Artinya, orangtua mentolerir nan mengizinkan anak-anaknya untuk menggunakan gawai yang terkoneksi oleh internet".  Sebanyak 83,1% setuju bahwa anak-anak usia diatas 13 tahun boleh menggunakan gawai. Tapi, hati-hati ada sekitar 15,8% menyetujui anak-anak usia dibawah 13 tahun membolehkan menggunakan gawai yang terkoneksi internet.

Gawai dan Dampaknya

Apakah ada yang salah dengan yang namanya gawai itu sehingga harus terus menerus menjadi issue yang dibahas terus menerus tanpa jedah? Dulunya nama Bahasa Inggrisnya gadget, lalu terminology Bahasa Indonesianya menajdi gawai. Gawai difahami sebagai suatu peranti atau instrumen atau alat yang memiliki tujuan dan fungsi praktis yang secara spesifik dirancang lebih canggih dibandingkan dengan teknologi yang diciptakan sebelumnya. Didalam benda yang disebut gawai terdapat inovasi atau kabaruan yang terus menerus dilakukan oleh pihak industry.

Lebih sederhananya publik memahami dan mengenal gawai itu adalah Handphone, atau Smartphone/Telepon Cerdan yang memiliki berbagai fitur yang biasanya hanya bisa dibuka melalui computer/laptop tetapi didalam gawai semua dijadikan satu. Umumnya menggabungkan fitur dari perangkat mobile populer seperti asisten pribadi digital (PDA), media player, unit navigasi GPS dan kamera digital menjadi sebuah perangkat pintar dan pada umumnya sebuah  smartphone dapat mengakses internet dan dapat menjalankan aplikasi pihak ketiga.

Manfaat gawai ada banyak, antara lain mempelancar komunikasi, mengakses informasi, menambah wawasan, menjadi media hiburan dan menjadi gaya hidup.

Sederhananya, secara umum bagi banyak orang gawai dimaknai sebagai membuat mudah untuk berkomunikasi dengan seseorang yang jauh dengannya untuk mendapatkan pesan dan menyampaikan pesan, walaupun disadari ada kecenderungan tidak sedikit orang menjadi sedikit lebih jarang untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih dekat.

Gawai diakui memang sangat bermanfaat pada era digital sekarang ini namun harus diakui ada banyak efek sampingan yang kalau tidak dikendalikan dan dikelola akan membawa malapetaka yang tidak diinginkan. 

Peran Orangtua 

Fenomema gawai ditengah-tengah kehidupan keluarga di Indonesia memang sesuatu yang baru. Perubahan dan kemajuan yang terjadi begitu cepat terjadi sehingga masyarakatpun seakan tidak siap untuk menerima teknologi ini untuk membawa perubahan yang lebih baik, dalam hal meningkatkan produktivitas dalam pekerjaan. Umumnya orang lebih banyak memanfaatkan sebagai gaya hidup dan hiburan semata-mata.

Dikalangan anak-anak juga demikian, walaupun ada sekolah yang mendorong anak-anak memanfaatkan untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolah bahkan untuk melakukan ujian atau test online dan tentu saja ini sangat baik. Namun sangat mungkin jumlah sekolah seperti itu tidaklah banyak, dan adanya di kota-kota besar. Bagaimana dengan diluar kota besar? Sangat mungkin permasalahannya akan menjadi lebih runyam ya dan juga dampaknya yang lebih serius.

Masalah serius yang sangat ditakutkan adalah dampak negatif penggunaan gawai oleh anak-anak di tengah keluarga. Temuan kementerian Komunikasi dan Informasi awal tahun 2018 menunjukkan bahwa 63,34% pengguna internet adalah anak-anak usia 9 -- 15tahun, yang berarti anak-anak usia sekolah SD sampai SMU. 

Kemudian hasil jajak pendapat kompas memperlihatkan bahwa ada kekuatiran dari orangtua apabila anak-anaknya terkena dampak buruknya,  khususnya konten dari internet yang mereka buka atau akses, yaitu 62,3% dampak pornografi, 14,25 dampak informasi tentang kekerasan, 8,5% dampak gaya hidup konsumtif, bahkan gim daring sebesar 34,3% sebagai dampak negatif.

Melihat kondisi seperti ini, mau tidak mau, peran orangtua menjadi penting bahkan vital untuk melakukan pengawasan bahkan pengendalian yang super ketat. Bukan persoalan jumlah anak banyak atau sedikit, tetapi seorang anakpun yang menjadi korban dari dampak penggunaan gawai itu menjadi besar efeknya. Sebab anak-anak memiliki entitas yang sama untuk dijaga dan dikembangkan dan dijauhkan dari efek negatif apapun. Anak-anak menjadi pemilik masa depan kehidupan suatu bangsa, negara dan kebudayaan.

Harus difahami bahwa keberadaan setiap keluarga dan setiap orangtua memiliki heterogenitas  yang tinggi, baik dari status sosial, status ekonomi dan tingkat pendidikan, budaya, bahkan tingkat literasi tentang gawai, sehingga menjadi penyebab tinggi rendahnya kemampuan menangani masalah dampak penggunaan gawai ini.

Manarik melihat hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuli Irmayati (2018) tentang "peran orngtua dalam mendampingi penggunaan gawai pada anak usia prasekolah" menemukan bahwa :

  1. Peran orangtua dalam mendampingi penggunaan gawai pada anak prasekolah memiliki perbedaan antara peran ayah dan peran ibu. Peran ibu lebih besar dalam mendampingi penggunaan gawai pada anak.
  2. Mayoritas ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung menemukan cara-cara yang menarik untuk mendampingi penggunaan gawai pada anak prasekolah yaitu dengan cara turut bermain gawai bersama anak dengan mengarahkan anak untuk membuka konten yang bermanfaat bagi pembelajaran anak dan menerapkan batasan durasi serta aturan-aturan bagi anak dalam bermain gawai sehingga dapat menstimulasi kemampuan literasi dan menambah pengetahuan anak prasekolah. Sedangkan ibu yang memiliki pendidikan rendah cenderung mengalami hambatan dalam menemukan cara-cara yang menarik untuk mendampingi penggunaan gawai pada anak prasekolah, sehingga membuat anak anak mulai mengakses konten-konten negatif yang kurang bermanfaat bagi pembelajarannya.
  3. Faktor pendukung peran orangtua yaitu pengetahuan ayah dan ibu mengenai dampak penggunaan gawai bagi anak prasekolah.
  4. Faktor penghambat peran orangtua berasal dari ayah karena keterbatasan waktu dan kendala dari pihak ibu lebih banyak pengendalian emosi pada anak dan rendahnya tingkat pendidikan.

Walaupun tidak terlalu representative karena sampel yang sangat terbatas dan penelitian kualitatif yang dilkakukan, namun hasil penelitian ini menarik untuk ditindaklanjutin, karena pembicaraan diranah publik marak tentang issue perlunya literasi yang lebih intens dilakukan kepada orangtua yang memiliki anak-anak dibawah usia.

Artinya pula, perlu studi intensif oleh Kantor Kementerian terkait untuk memetakan situasi empiric yang ada. Literasi teknologi gawai harus fokus kepada keluarga yang sangat rentan dampak negatef penggunaan gawai itu. Seperti keluarga yang orangtuanya sibuk bekerja dan level pendidikannya rendah seperti temuan penelitian diatas.

Upaya ini harus segera dikerjakan, karena ini menyangkut masa depan generasi bangsa ini. Anak-anak yang sekarang dibahas adalah mereka yang pada 25 tahun yang akan datang menjadi manusia-manusia yang sedang berada pada masa produktivitas tinggi. Dan karenanya perlu penanganan dan persiapan mulai sekarang.

Budanya reaktif sudah tidak bisa dilanjutkan lagi, artinya setelah ada korban, ada masalah baru sibuk melakukan penanganan. Itu namanya terlambat. Sebab kemajuan teknologi gawai bukan semakin mundur tetapi semakin maju dan maju. Sikap dan upaya proaktif menjadi pilihan utama kalaumau masa depan bangsa ini tidak hancur !

"Hari anak adalah hari penghargaan sebesar-besarnya buat mempersiapkan generasi penerus perjuangan bangsa"

[Yupiter Gulo, 28 Juli 2018]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun